UU HKI Tertinggal Jauh di Era Internet

Jumat, 02 November 2012


Jakarta, (Analisa). UU Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang ada saat ini dinilai sudah sangat tertinggal dalam melindungi hak cipta industri kreatif di era pesatnya perkembangan internet.
"UU kekayaan intelektual sudah kita buat 10 tahun lalu, sudah sangat ketinggalan," kata Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM, Ahmad Ramli, dalam deklarasi Indonesia Internet Governance Forum (ID-IGF) di Jakarta, Kamis (1/11).

"Dulu, Rhoma Irama sekali bikin album bisa laku minimal satu juta kopi, sekarang bisa laku 10 ribu saja sudah bagus. Orang lebih mudah download di internet," sesalnya

Menurutnya, saat UU HKI itu dibentuk, pelanggaran HKI di internet hanya sebatas yang bertentangan dengan merek dan nama domain. Namun sekarang, kata dia, pelanggarannya sudah meluas ke sektor lain, khususnya di industri musik.

"Dibandingkan lagu musisi luar negeri, sekarang yang paling banyak dibajak justru lagu bangsa sendiri. Saya pernah didatangi musisi seperti Iwan Fals dan Sam Bimbo. Mereka tak mau lagi rekaman karena tak mau semakin menjerumuskan orang untuk terus mencuri karya ciptanya.

"Akhirnya, kreativitas mereka terganggu. Sayang sekali banyak musisi yang berhenti berkarya karena perkembangan cyber yang luar biasa. Padahal, negara maju karena menghargai HKI. Lihat saja Doraemon, Starbucks, itu salah satu contoh sukses karena perlindungan HKI. Amerika sendiri bisa tumbuh karena melindungi HKI-nya dengan sangat luar biasa," sesalnya.

Sementara menurut pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia, Edmon Makarim, pengguna juga tak bisa 100 persen disalahkan dalam kasus pembajakan musik lewat internet.

"Di beberapa negara, tidak ada anonymous protection, tetapi di Indonesia sudah ada. Kriminalisasi hak cipta terhadap pengguna adalah kesalahan yang fatal, seharusnya yang dipidanakan adalah yang melakukan komersialisasi," tegasnya.

Perlu UU ‘Cybercrime’

Sementara itu Dirjen Aptel Kemenkominfo Ashwin Sasongko mengatakan, Indonesia dinilai perlu memiliki UU cybercrime untuk mengatur yuridiksi jika terjadi kejahatan internet lintas negara. Sebab, tambahnya, sistem yuridiksi di setiap negara berbeda-beda.

"Kita tidak mempunyai batas kedaulatan dalam internet, lalu bagaimana pengaturan hukumnya?" tanya Ashwin.

Menurutnya, satu-satunya cara yang bisa ditempuh saat ini jika terjadi kejahatan internet dari luar Indonesia adalah bekerja sama dengan penegak hukum dari negara lain.

"Namun itu hanya dapat diproses di negara yang memberlakukan hukum tersebut. Ada perbedaan yuridiksi dan penegakan hukum antar negara," ujarnya.

Menurut Edmon Makarim, pembahasan tentang UU Cybercrime sekarang masih pada pengertian hukum dalam arti sempit, tidak memasukkan universal values.

Ia mencontohkan, jika terjadi kejahatan perusakan sistem IT publik di Indonesia, yang dilakukan oleh warga Amerika, namun sang pelaku tinggal di Prancis, bagaimana untuk mempidanakannya.

"Itu sebabnya dibutuhkan kepastian-kepastian bahasan internet yang disepakati secara universal untuk membuat perangkat hukum yang sesuai," katanya. 


Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar