"Ria Godang" untuk Selamatkan Danau Toba!

Jumat, 30 November 2012


Siapa yang tak mengakui keindahan dan dahsyatnya pesona alam kawasan Danau Toba? Setiap orang yang melihatnya niscaya akan takjub berdecak kagum akan keindahan panorama dan permai alamnya. Begitu "dahsyatnya" pesona Danau Toba, sampai-sampai komponis Nahum Situmorang memujanya dalam lirik lagu terkenal, "O Tao Toba raja ni sudena Tao; Tao na sumurung na lumobi ulimi; Molo huida rupami sian na dao; tudos tu intan do denggan jala uli,...." (O, Danau Toba Raja-nya semua Danau; Danau terunggul nan permai; Bila kulihat dari jauh; laksana intan, yang cantik dan memesona).
Nestapa Danau Toba

Namun di balik keindahannnya, Danau Toba adalah tragedi dan nestapa. Perlakuan terhadap Danau Toba tak seindah panorama yang dipancarkannya kepada manusia. Entah karena kesengajaan, ketololan, atau kejahatan, dalam waktu yang lama kawasan Danau Toba (sengaja) dibiarkan bak kawah air comberan. Ia nyaris tak dianggap di republik ini. 

Alih-alih dijadikan aset atau objek vital nasional yang dijaga dan dilindungi, dengan alasan investasi, kawasan Danau Toba justru ‘dibiarkan’ menjadi kawasan yang "bebas" untuk dieksploitasi. Celakanya, praktik pembiaran perusakan tersebut sepertinya berlangsung sistemik karena melibatkan nyaris semua aktor pemangku kepentingan di republik ini. 

Yang pertama adalah Pemerintah (Pusat). Karena ketiadaan political will dan visi pengelolaan Danau Toba, Pemerintah baru menetapkan Danau Toba sebagai kawasan strategis nasional tahun 2008 lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2008. 

Sayangnya hingga tulisan ini dibuat, PP itu belum disertai dengan adanya regulasi derivatif operasional di lapangan. Akibatnya PP No 26/2008 tak lebih dari macan kertas. Tak ada perbaikan berarti dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba pasca lahirnya PP 26/2008 tersebut. Kawasan Danau Toba tetap menjadi kawasan yang akrab dengan perambahan dan perusakan sumber daya alam, khususnya hutan. Aktor dan korporasi perusak hutan dan pemerkosa sumber daya alam, mulai dari skala kecil hingga skala besar, baik yang bekerja sendirian maupun yang berkolaborasi dengan elit dan aparat keamanan, tetap bebas bergentayangan mengeksploitasi kekayaan Danau Toba dan hutan sekitarnya. Tak heran, dari tahun ke tahun kawasan Danau Toba makin kritis. Hutan di sekelilingnya hancur, kwantitas dan kwalitas air makin merosot, dan kwalitas ekosistem pun makin memburuk. 

Aktor kedua adalah Pemerintah Daerah (propinsi dan Kabupaten di kawasan Danau Toba). Mereka merupakan pihak yang juga harus menanggung "dosa" dari nestapa Danau Toba. Argumennya jelas. Hingga kini mereka tak membuat satupun prakarsa kebijakan dan aksi kepeloporan untuk menyelamatkan kawasan Danau Toba. 

Nyaris tidak ada insiatif cerdas dan kreatif yang sifatnya komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan untuk menyelamatkan Kawasan Danau Toba. Mereka asyik berdalih, otoritas dan peran tersebut ada di pemerintah pusat, bukan di pemerintah daerah. Padahal kalau mereka serius, dan bila dikaitkan dengan desentralisasi politik, pemerintah daerah sejatinya memiliki banyak ruang dan peluang untuk mengembangkan sebuah strategi komprehensif mengelola kawasan Danau Toba, tanpa harus menunggu "petunjuk" Pemerintah Pusat. 

Dikelola dengan "Apa Adanya"

Namun kenyataannya pemerintah daerah justru mengelola dan menyelamatkan kawasan Danau Toba dengan "apa adanya", salah satunya dengan menggelar "ritual" Pesta Danau Toba dan seremoni penanaman pohon. Sepintas agenda tersebut terlihat mulia. Namun kalau ditelisik lebih mendalam, agenda pesta ini cenderung tak lebih dari sekadar agenda "ecek-ecek" karena pada akhirnya hanya menjadi ajang pencitraan elit, dengan menjadikan Danau Toba sebagai etalasenya. 

Kesimpulan tersebut didasarkan sejumlah alasan. Pertama, penyelenggaraan agenda "ritual" tersebut telah mereduksi upaya mengatasi nestapa Danau Toba menjadi sebatas seremoni. Agenda pesta tersebut seolah ingin mengobati ‘sakit kanker’ Danau Toba dengan obat flu. Menggelar pesta dan menanam pohon boleh-boleh saja. Namun pengelolaan dan penyelamatan kawasan Danau Toba bukan soal menanam pohon dan pesta semata. 

Soal yang paling fundamental adalah penegakan hukum bagi perusak lingkungan Danau Toba, perumusan visi pengelolaan Danau Toba, dan asessement dan strategi desain baru tata kelola kawasan Danau Toba yang berbasis kultural dan struktural. 

Kedua, agenda "ritual" tersebut sepertinya tidak didasarkan pada paradigma managemen proyek modern.Agenda "ritual" tersebut tidak didahului dengan dedah kebutuhan dari masyarakat bawah, tidak memiliki sasaran dan outcome yang jelas dan terukur, dan nihil evaluasi. 

Jangan heran bila agenda tersebut (biasanya) tak meninggalkan jejak (kegagalan ataupun keberhasilan/progress), usai dilaksanakan. Lebih ironisnya, agenda "ritual" tersebut bahkan hanya mereplikasi agenda normatif sebelumnya yang sudah tidak relevan. 

Ketiga, agenda "ritual" tersebut masih mengedepankan mindset mobilitatif yang berporos pada elit dan menegasikan mindset partisipatif yang berporos pada masyarakat. Mindset demikian membuat kompetensi, historitas, kapasitas, dan partisipasi tidak menjadi pertimbangan. Hasilnya adalah kerja rancak serabutan. Hal itu misalnya terjadi pada Pesta Danau Toba. Dari tahun ke tahun kualitasnya justru terus melorot menjadi pesta kampungan karena dikelola secara inkonsisten (pesta dikerjakan orang-orang yang berbeda setiap tahunnya), dan irrasional (pesta dikerjakan dengan mental sim-sala-bim asal jadi). 

Padahal. secara empirik, pesta Danau Toba seharusnya bisa dibuat lebih baik dengan persiapan yang lebih serius dan matang. Apalagi kemudian anggaran untuk Pesta Danau Toba jumlahnya milyaran rupiah. 

Aktor berikutnya yang yang harus bertanggungjawab atas nestapa Danau Toba tentunya adalah masyarakat, khususnya elit politik, aktivis, intelektual, dan mereka yang menamakan dirinya sebagai togam (tokoh agama) dan tomas (tokoh masyarakat) di Sumut. Mereka ini adalah pihak yang sejatinya langsung dihidupi dan hidup dari hamparan kawasan Danau Toba namun di saat bersamaan ikut juga merusak dan "membiarkan" nestapa Danau Toba terjadi. Padahal sesungguhnya mereka memiliki otoritas sosial dan religius untuk menggalang gerakan penyelamatan Danau Toba. 

Ria Godang Danau Toba 

Walau menohok para pemangku kepentingan, opini ini tentu saja bukan sekedar mencari "kambing hitam" atas nestapa danau Toba. Artikel bernuansa satir ini sesungguhnya adalah upaya mendedah lebih mendalam silang sengkarut upaya penyelematan dan pengelolaan Kawasan Danau Toba. 

Opini ini hendak menegaskan bahwa upaya penyelamatan Kawasan Danau Toba yang normatif, instan, teknis, top-down, parsial, simplistis dan mengandalkan pendekatan regulatif semata, tidak lagi memadai. 

Pendekatan normatif yang mengedepankan pembentukan institusi baru, semisal Dewan Otorita Danau Toba, atau mencomot ide, semisal "Geopark", dari "seberang", rasanya juga tidaklah cukup. Upaya penyelamatan dan pengelolaan kawasan Danau Toba membutuhkan pendekatan ekstra yang berdimensi kultural, sekaligus struktural. 

Dimensi kultural bermakna pendekatan yang mampu menggerakkan dan melibatkan semua potensi dan kekayaan sosial budaya di masyarakat untuk menyelamatkan dan mengelola Danau Toba. Sementara dimensi struktural bermakna pendekatan yang mampu mengintegrasikan semua struktur politik negara untuk menyelamatkan dan mengelola kawasan Danau Toba untuk kelestarian lingkungan dan kesejahateraan rakyat banyak. Dalam budaya Batak dikenal Ria Godang, yakni sebuah musyawarah dan permufakatan yang melibatkan semua pemangku kepentingan, untuk melaksanakan sebuah agenda besar. Dan itu merupakan sebuah keharusan. 

Dalam konteks itu Ria, Godang atau sebuah musyawarah besar tentang Danau Toba menjadi strategis, urgen, dan terafirmasi untuk mencari strategi dan upaya penyelamatan Danau Toba. Gagasan Ria Godang atau Konperensi Besar tersebut tentu butuh energi dan biaya besar. Namun biaya besar untuk Ria Godang Danau Toba jauh lebih strategis dan berguna daripada menghabiskan biaya besar untuk agenda penyelamatan Danau Toba yang rancak serabutan tanpa arah!***

Penulis pengagum Danau Toba. Aktivis Ecodemocracy. Bekerja di Perhimpunan BAKUMSU




Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar