Pertarungan Identitas Parpol Islam

Rabu, 05 Desember 2012


 Dalam peta politik, agama masih menjadi harus diakui bahwa parpol Islam, -sebagaimana umat Islam umumnya-, mengalami apa yang disebut Wertheim sebagai "mayoritas yang bermental minoritas" (Latif, 2005). Kondisi ini lantas menegaskan premis bahwa Islam dituntut mengambil positioning yang jelas, -agar Islam sebagai identitas-, benar-benar tampak. Identitas itu mesti terlihat sebagai "negasi" atau "antitesis" dari partai lain yang bercorak sekuler-nasionalis.
Jalan yang ditempuh untuk meneguhkan identitas keislaman tersebut kebanyakan adalah dengan memperjuangkan formalisasi syariat. Cara ini merupakan jalan instan, dan boleh jadi lebih disebabkan karena momentum pemilu yang lima tahunan, membuat dinamika politik tidak bisa ditebak. Bahkan muncul pola yang cukup sistematis, bahwa perjuangan menegakkan agenda politik syariat Islam kini dijalankan secara sporadis, melalui jalan kebijakan di tingkat kabupaten/kota dan propinsi. Strategi ini cukup efektif, mengingat dalam agenda formalisasi syariat Islam, lawan parpol Islam tersebut bukan hanya partai sekuler nasionalis, melainkan juga parpol Islam-nasionalis.

Sesungguhnya parpol Islam tidak bisa disederhanakan menjadi satu atau dua macam. Apa yang kemudian disebut parpol Islam kian kabur, akibat Islam warna warni yang ada di Indonesia. Parpol Islam tidak selalu beroposisi biner dengan partai lain yang meneguhkan ideologi berbeda secara prinsipil. Hasil pemilu 2009 di mana PKS dan PAN memeroleh suara 7,9 persen dan 6,0 persen menunjukkan bahwa partai Islam yang memiliki identitas keislaman kuat berhasil mengungguli PPP dan PKB yang pada titik tertentu, tidak menggunakan jargon Islam dalam merumuskan program kerja politik. 

Peran Intelektual Muslim 

Parpol Islam yang saat ini memberi nafas baru dalam peta politik nasional, tak bisa dilepaskan dari peran intelektual Islam yang bergumul dalam agenda partai dan agenda kebangsaan. Jajat Burhanudin (2012) menengarai ini sebagai kontinuitas sejarah, di mana agama dan kekuasaan seringkali membangun relasi simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Dalam dunia politik, partai menjadi alat untuk meraih kekuasaan, karena dengan kekuasaan-lah kebijakan sebagai manifestasi perjuangan politik, akan lebih mudah ditegakkan.

Pola perekrutan dalam parpol Islam sendiri banyak mengambil dari mantan aktivis organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke dalam Islam, seperti HMI, PMII, IMM, dan KAMMI. Mereka yang telah mendapatkan gemblengan politik sejak mahasiswa ini kemudian menjadi aktor intelektual dari parpol Islam, dengan menjadi pengurus partai atau calon legislatif. "Dualisme" ormas Islam di Indonesia, yang ditemukan dalam NU dan Muhammadiyah, turut memberi warna tersendiri dalam merumuskan platform partai. 

Dua pandangan besar dari ormas ini turut memberi spirit dialektika agenda parpol yang mengatasnamakan Islam. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa alumni HMI dan PMII banyak menyebar ke partai sekuler-nasionalis, seperti di Partai Golkar dan Partai Demokrat. 

Sejauh ini, kalau kita mau menyebut partai Islam yang memperjuangkan agenda keislaman dengan berbeda, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Orang tak bisa lagi melihat wajah Islam an sich dalam PAN, PPP, dan PKB. Tiga partai yang disebut terakhir ini, oleh masyarakat hanya dianggap sebagai partai Islam yang "simbolik", -nama dan lambangnya berbau Islam. Terutama PKB yang justru mengklaim dirinya bukan partai Islam, namun dikenal sebagai partai Islam karena partai ini dipenuhi oleh tokoh Islam dari dunia pesantren dan mantan aktivis organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke Islam. Masyarakat memandang PAN sebagai anak kandung Muhammadiyah, PKB anak kandung NU, dan PPP menjadi partai yang mempertahankan nama warisan Orde Baru yang dikenal keislamannya karena simbol Ka"bah dan barisan kyai yang menyokong partai ini. Sementara PKS muncul secara fenomenal sebagai parpol yang mengusung identitas Islam a la Timur Tengah, yang jauh berbeda dengan PKB dan PPP. Dalam konteks yang demikian, -terkait dengan gagalnya parpol Islam mendulang suara yang signifikan dalam pemilu legislatif-, lebih disebabkan karena tidak ada agenda yang benar-benar berbeda dari partai Islam dibanding partai yang sekuler-nasionalis (Mujani dan kawan-kawan, 2012). Parpol Islam yang ada di Indonesia saat ini masih terjebak pada politik identitas yang akan tampak secara jelas ketika justru menggunakan pilihan bahasa yang islami (berbau Arab). 

Adakah Parpol Islam?

Jika melihat analisis di atas, kiranya patut ditanyakan ulang; adakah partai politik Islam? Pertanyaan ini menjadi menarik karena sepanjang sejarah Indonesia, Islam selalu berdialog dengan kebudayaan dan nilai-nilai Islam. Islam Indonesia lantas menjadi Islam yang khas, yang unik, dan boleh disebut agenda-agenda keislamannya hadir secara tersirat (substantif). Inilah yang turut berimbas pada ideologi, platform, dan agenda-agenda politik dari parpol Islam yang mesti diakui berafiliasi kepada ormas Islam tertentu pula.

Kehadiran parpol Islam dalam lanskap politik Indonesia tidak bisa dijelaskan secara sederhana, akibat banyaknya simpul-simpul yang saling berkait, yang dalam prosesnya mengalami banyak rintangan. Kita akan sulit mendapatkan platform politik Islam yang gamblang manakala parpol tersebut sulit menemukan titik kesamaan yang dapat diterima oleh semua parpol yang mengaku berbasis Islam. Sejarah pergesekan ormas yang "menaungi" parpol Islam tersebut justru menjadi "nilai lebih" yang akan membuat masyarakat mudah melakukan diferensiasi. Artinya, kalau masyarakat mengaku sebagai Islam tradisionalis, pilihan tak akan jauh dari PPP atau PKB. Dan masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai Islam modernis, kira-kira akan memilih PAN atau PKS. Kendati banyak juga partai sekuler-nasionalis dipenuhi orang-orang Islam.

Partai Islam mengalami dilema yang berkaitan dengan realitas keislaman di Indonesia yang berdialog erat dengan kebudayaan lokal yang khas Nusantara. Nilai-nilai lokal yang sekian abad tumbuh dan mengakar di masyarakat, tidak mudah untuk direduksi. Hal demikian yang menjadikan parpol Islam yang kukuh memegang simbol-simbol Islam cukup kesulitan melakukan penetrasi politik yang dapat diterima secara massif. Bukan hanya dari parpol sekuler, melainkan juga dari parpol yang memakai label Islam.

Masalah utama dari parpol Islam adalah, sejauh mana institusi politik ini dapat memberi warna tersendiri dalam percaturan politik nasional. Korupsi dan cacat moral kader partai akan mendapat sorotan luas di masyarakat. Akan lebih cantik dan dapat menarik konstituen seandainya parpol Islam ini bersih dari korupsi dan cacat moral. Terkait agenda kebijakan, entah itu lahir dari konsep Islam atau tidak, asalkan membawa kemaslahatan rakyat Indonesia, bukan suatu hal yang patut diperdebatkan. *** 

Penulis adalah Direktur el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang




Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar