Asuransi Indonesia, "Obat" Krisis Amerika + Eropa

Senin, 17 Desember 2012


Krisis global yang terjadi saat ini di berbagai negara merupakan babak lanjutan dari keruntuhan subprime mortage di tahun 2008, yakni berupa penjualan kredit perumahan oleh sejumlah perusahaan kepada bank-bank besar yang dimulai dari Amerika Serikat.
Krisis perumahan di Amerika Serikat ini merembet melemahnya bursa efek di Eropa yang kemudian disusul krisis utang di Yunani, Portugal, Islandia, Irlandia, Italia dan Spanyol. Krisis yang berkepanjangan sampai saat ini juga membuktikan tesis bahwa gagalnya sistem kapitalisme yang diterapkan di berbagai negara tersebut, dan mengingatkan kita kembali pada ajaran Marxisme, adanya sistem Sosialisme yang lebih baik menuju welfare state (negara sejahtera).

Namun, krisis yang terjadi di Amerika dan Eropa sangatlah terbalik kondisinya dengan Asia, dimana saat ini Asia menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi global, terutama China dan India serta negara Asia lainnya, termasuk juga Indonesia.

Runtuhnya pasar finansial Amerika dan Eropa inilah mengakibatkan terjadinya arus deras pengalihan investasi finansial ke Indonesia. Hal ini juga sangat sejalan bahwa regulasi nasional menjamin keterbukaan operasi perusahaan asuranasi dan perbankan asing di Indonesia yang kepemilikan sahamnya bisa mencapai 99% dari total seluruh saham perusahaan.

Industri Asuransi Indonesia Sasaran Empuk

Perbankan Indonesia saat ini memperlihatkan bahwa unsur kepemilikan asing di dalam perbankan mencapai 47 dari 121 bank yang beroperasi di Indonesia. Sama halnya dengan asuransi, bisnis yang mencapai titik jenuh di Eropa ini mendorong masifnya perusahaan asuransi Eropa memasuki pasar asuransi Indonesia (Invasi Bank Asing di Indonesia, IGJ 2012)

Nama besar dan modal yang kuat melanggengkan langkah perusahaan asuransi asing berekspansi di Indonesia, terutama dari Uni Eropa, seperti: Prudential (Inggris), Allianz (Jerman), AXA (Perancis), ING (Belanda), Zurich (Swiss), Generali (Italia), dan lain-lain.

Masuknya perusahaan asuransi asing di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1980-an, yaitu: AIA (Amerika), AIG (Amerika), Sequish (Amerika), Avrist (Amerika), CIGNA (Amerika), Manulife (Kanada), Sun Life (Kanada), Aviva (Inggris), Commonwealth (Australia), Tokio Merine (Jepang), Nipponkoa (Jepang), Sompo Japan (Jepang), Mitsui Sumitomo Metlife (Jepang) dan Aioi Life (Jepang), yang dahulunya hal ini dimulai dengan modus usaha patungan dengan mitra lokal di Indonesia (Free Trade Watch, IGJ 2012).

Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pertumbuhan rata-rata asuransi di Indonesia 25 persen setiap tahun. Diprediksi tahun 2012, pertumbuhannya mencapai 30 persen. Bapepam - LK (non audit) melansir data bahwa pada tahun 2011, pertumbuhan premi sebesar 27%, asuransi jiwa tumbuh 28,7% dan asuransi umum mengalami pertumbuhan 23,1%. Hal lainnya, menyebutkan bahwa pertumbuhan asuransi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan asuransi dunia dan rata-rata negara berkembang.

Menurut Data Pokok Laporan Keuangan Asuransi Jiwa Indonesia pada tahun 2011, bahwa secara keseluruhan, baik dalam hal aset, investasi, perolehan premi dan keuntungan bersih, industri asuransi di Indonesia selalu mengalami peningkatan. Artiannya bahwa asuransi di Indonesia menjanjikan keuntungan yang signifikan dan berkelanjutan. Namun sayangnya, perusahaan yang paling menikmati keuntungan tersebut adalah sejumlah perusahaan asing, seperti Prudential, AXA, AIA, Allianz, Avrist, CIGNA, dan lain-lain. Adapun perusahaan lokal hanya diwakili oleh Bumiputera, Sinarmas dan Jiwasraya.

Asuransi Indonesia Memperbaiki Krisis Eropa

Ekspansifnya perusahaan asing di Indonesia disebabkan dukungan aturan perundangan negara ini yang sangat liberal, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Peraturan ini mengatur terkait kepemilikan perusahaan asuransi asing pada saat pendirian maksimum 80%. Selanjutnya pemodal asing tersebut dibolehkan menambah modalnya terus menerus hingga kepemilikannya mencapai 99,9%.

Penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai 237,56 juta jiwa, ternyata pemegang polis asuransi hanya mencapai 16,75 juta jiwa, atau sekitar 0,07 persen dari jumlah keseluruhan penduduk negara ini. Kondisi ini sangat berbeda dengan Malaysia dan Singapura, dimana kedua negara ini telah mencapai 0,44 persen dan 2,31 persen. Hal ini jugalah yang menyebabkan perusahaan asuransi asing semakin agresif untuk "merangkul" rakyat Indonesia mengikuti asuransi.

Maka bisa dipastikan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan berbondong-bondongnya perusahaan asuransi Uni Eropa mendatangi Indonesia. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang besar, sedangkan yang mempunyai asuransi jumlahnya sangat kecil. Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bagus akan otomatis mendorong kebutuhan orang terhadap asuransi. Ketiga, masyarakat Indonesia mulai sadar akan pentingnya asuransi.

Tragisnya, industri asuransi nasional yang sangat menguntungkan ini dibiarkan saja menjadi lahan subur bagi negara lain untuk mengeruk keuntungan. Serbuan perusahaan asuransi asing yang menghujani Indonesia dibiarkan saja bak tak terbendung. Keuntungan operasi asuransi dibiarkan saja dibawa ke negara lain dan uang rakyat Indonesia tersebut akhirnya digunakan untuk memperbaiki krisis negara mereka.

Maka tak jarang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari, kerap kita bertemu dengan menjamurnya "marketing" sejumlah perusahaan asuransi asing ini, sebab mereka diiming-imingi pendapatan yang besar. Kebijakan pemerintah yang memfasilitasi keinginan perusahaan asuransi asing ini juga patutnya dikaji kembali, sebab uang rakyat Indonesia hanya dihambakan untuk menghidupi industri negara Eropa. Industri asuransi di Indonesia jelas membuktikan bahwa betapa "intimnya" hubungan antara korporasi dan birokrasi di republik ini.***

*Penulis adalah aktivis Eksekutif Nasional WALHI



Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar