Anatomi Revolusi Suriah

Rabu, 05 Desember 2012


Buntu. Itulah kata yang patut disematkan pada proses transisi demokrasi di Suriah. Krisis yang berlangsung sejak Maret 2011 itu telah mengoyak stabilitas pemerintahan Suriah. Dan, hingga kini, krisis yang menyebabkan sekitar 34.000 orang tewas dan 28.000 lainnya hilang itu belum juga menunjukkan tanda-tanda bakal mereda.
Gencatan senjata pun ternyata bukan formula yang tepat buat menghentikan pertempuran antara kelompok oposisi dan pasukan pro-rezim Bashar al-Assad. Gencatan senjata yang disepakati akan dimulai Jumat (26/10/2012) pagi dan berlaku empat hari sampai Senin (29/10/2012) ternyata pepesan kosong belaka.

Soalnya, beberapa jam setelah gencatan senjata dimulai, pertempuran malah pecah di Maaret al-Numan, yang terletak di ruas jalan utama penghubung Damaskus dan Aleppo, kota terbesar di negeri itu. Pertempuran lain juga meletup di sejumlah tempat, seperti di Assali, Aleppo, Homs, Hama, dan Damaskus. Pemantiknya adalah kaum oposan radikal semacam Jabhat al-Nusra, yang menolak gencatan senjata sedari awal, bertentangan dengan sikap kelompok oposisi lain seperti Dewan Nasional Suriah (SNC) dan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

Belum lama ini, dibentuk payung baru bagi kubu oposisi yang bernama Koalisi Nasional (NC). Ia diharapkan dapat mewadahi dan menyatukan sekitar 150 kelompok oposisi, baik di dalam maupun luar Suriah. Selain itu, wadah baru di bawah pimpinan Mouaz al-Khatib itu diharapkan bakal jadi wakil yang sah dari rakyat Suriah. Dan, lewat wadah baru itu pula hendak dibentuk pemerintahan sementara yang terdiri dari sepuluh menteri, dewan agung militer, dan lembaga peradilan.

Namun, mengingat ketidakkompakan yang melanda internal kubu oposisi, pemerintahan sementara itu disangsikan tidak akan dapat bekerja efektif. Pun demikian dengan koalisi yang baru terbentuk. Segala atribut yang sedianya dibangun untuk merekatkan kekuatan oposisi akan tinggal atribut kalau masing-masing pihak tidak membulatkan tekad dan menyingkirkan perbedaan pendapat. Amat penting bagi kelompok oposisi saat ini buat mengonsolidasi seluruh kepentingan dan menepis segala keraguan demi masa depan Suriah yang diidamkan bersama.

Kuncinya, Militer

Seandainya kelompok oposisi mau mengkaji teori revolusi dari para sarjana yang waskita di bidangnya, barangkali jalan revolusi Suriah bakal lebih lapang dan jumlah korban jiwa pun dapat ditebang. Salah satu teks yang patut diperhitungkan berjudul The Anatomy of Revolution anggitan Crane Brinton. Di Indonesia, buku itu dialihbahasakan oleh Singgih Hadipranowo dan Gusti Ngurah Gedhe sebagai Anatomi Revolusi, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Bhratara pada 1962.

Clarence Crane Brinton adalah sejarawan dan mahaguru Universitas Harvard, Amerika Serikat. Brinton lahir di Connecticut, Amerika Serikat, pada 1898. Sehabis merampungkan studinya di Universitas Harvard dan Universitas Oxford, Inggris, dia mengajar di Universitas Harvard hingga tutup-usianya pada 1968. Sebagai akademisi, Crane Brinton banyak menulis buku menarik dan bermutu. Salah satunya, The Anatomy of Revolution.

Dalam buku yang terbit perdana pada 1938 dan senantiasa direvisi dengan bahan-bahan terbaru itu, Brinton menggunakan revolusi di Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Rusia sebagai objek kajian untuk menjelaskan "anatomi revolusi". Ia, antara lain, melontarkan dalil bahwa tiada suatu pemerintahan pun yang bakal tumbang sampai ia tidak bisa lagi mengendalikan angkatan bersenjatanya, atau tidak mampu menggunakan kekuatan militernya secara efektif. Sebaliknya, tidak pernah kaum revolusionis akan gemilang menggulingkan suatu pemerintahan sampai mereka bisa menguasai atau bersekutu dengan kekuatan militer negara itu.

Lebih lanjut, Brinton mengemukakan beberapa permisalan. Antara lain, peristiwa di Prancis pada 1789 dan di Rusia pada 1917. Raja Prancis Louis XVI, tulis Brinton, sebenarnya mempunyai kekuatan militer yang dapat dipercaya. Meski tentaranya yang berkebangsaan Prancis dapat dipengaruhi untuk propaganda gerakan anti-monarki, ia sesungguhnya masih memiliki pasukan-kepercayaan berkebangsaan Swiss dan Jerman yang tak mudah terhasut oleh propaganda lawan.

Terbukti, tiga warsa kemudian, pasukan Swiss berjuang mati-matian membela Kerajaan Prancis dalam pertempuran di Tuilerie pada 10 Agustus 1792. Namun, pada saat yang menentukan, tatkala pecah pergolakan di Paris, raja beserta para penasihatnya tidak mampu menggunakan pasukan setia itu secara efektif. Pertempuran pun akhirnya dimenangkan kaum revolusionis, sementara kepala sang raja, Louis XVI, di-guillotine di Place de la Concorde.

Cerita serupa terjadi di Rusia pada 1917. Kalau saja pemerintah Tsar berhasil menciptakan ketertiban di Petrograd, barangkali unjuk rasa di jalanan yang semula tanpa arah tak akan berkembang menjadi revolusi berdarah. Musabab kegagalan pemerintah adalah dalam hal keengganan tentara untuk bergerak melawan pengunjuk rasa. Padahal, saat itu keadaannya sudah sangat kritis. Alih-alih melawan rakyat, resimen demi resimen tentara Tsar justru bergabung dengan rakyat.

Jika contoh kasus Brinton ditarik ke Indonesia, tentu bakal lekas cocok. "Revolusi" 1965 kala Orde Lama digulingkan oleh Orde Baru dan "Revolusi" 1998 saat Orde Baru dilengserkan oleh kekuatan Reformasi adalah tamsil yang bernas ihwal peran militer yang amat menentukan dalam suatu transisi kekuasaan. Sebab, Tentara Nasional Indonesia (TNI)-lah sejatinya yang mendepak Soekarno dan Soeharto dari singgasana kekuasaan, bukan rakyat ataupun mahasiswa.

Adakah kelompok oposisi Suriah menyadari tesis Crane Brinton itu? Seandainya saja kian banyak panglima militer yang membelot ke kubu oposisi, menyusul Mayor Jenderal Muhammed Hussein al-Haj Ali dan Mayor Abu Mahar. Atau, seandainya saja rezim Bashar al-Assad tidak lagi didukung angkatan bersenjatanya. Atau, seandainya saja pasokan senjata tentara pemerintah kian menipis. Tentu, revolusi rakyat Suriah akan berakhir dengan gemilang. Sayangnya, sejarah tidak mengenal kata "seandainya".***

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.




Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar