‘Outsourcing’, Antara Pro dan Kontra

Selasa, 13 November 2012


Oleh : Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih, SH.Nasib tenaga kerja Indonesia di luar negeri, antara lain di Hongkong, Arab Saudi dan Malaysia, ternyata diberitakan cukup menderita. Meskipun ada yang sukses dan berhasil, namun banyak juga yang diberitakan terlibat perbuatan kriminal, bahkan ribuan konon akan dieksekusi hukuman mati.
Sehingga berita yang menyatakan bahwa perwakilan Negara kita disana berhasil menghindarkan Tenaga Kerja Indonesia dari hukuman mati, merupakan ‘hiburan’ yang sangat memadai, sekaligus mengembangkan harapan untuk tenaga kerja yang lebih terlindungi oleh pemerintahnya. Soalnya, alasan dari para tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri, selain ketiadaan peluang bekerja di dalam negeri, juga karena pendapatan dan penghasilannya di luar negeri konon jauh lebih besar. 

Meski harus diakui adanya kesan psikologis, bahwa bekerja di luar negeri, meski pada strata yang terendah sekalipun, tetap membanggakan. Sayangnya, ternyata, nasib naas tenaga kerja, tak hanya terjadi di mancanegara, akan tetapi juga dialami di negeri sendiri, Indonesia. Alih daya, sebagai frasa dari pada ‘outsourcing’ ternyata merupakan masalah yang menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi buruh di Indonesia. 

Sebagaimana diberitakan melalui berbagai media, demonstrasi dengan diikuti oleh ribuan buruh terjadi berkali-kali dan diselenggarakan di berbagai tempat. Bahkan secara akumulatif, jumlah buruh yang melakukan aksi unjuk rasa mencapai angka jutaan orang. Mereka menuntut upah yang layak dan peningkatan kesejahteraan pekerja. 

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, wanti-wanti minta kepada kalangan demonstran untuk bersabar, karena pihaknya sedang berusaha untuk mencarikan solusi yang terbaik, baik demi kepentingan buruh maupun kepentingan perusahaan. Peningkatan pengawasan dan evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar undang-undang alih daya akan segera dilancarkan. 

Namun, untuk menghilangkan konsep alih daya, terlihat belum dan atau tidak hendak dilakukan. Hal ini tak lain karena memang masalah alih daya diakomodasikan oleh Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara materiil undang-undang tersebut, selain memang masih berlaku, juga cukup memadai mengatur masalah alih daya tersebut. 

Walaupun diperkirakan memang ada penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan buruh tidak mendapatkan hak-haknya secara layak. Menteri juga mengingatkan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan undang-undang tentang ketenaga kerjaan tersbut, bahwa perusahaan dilarang melakukan outsourcing untuk pekerjaan yang menjadi tulang punggung usahanya. 

Alihdaya diperkenankan hanya dalam hal usaha cleaning service, security, transportasi, catering dan usaha penunjang pertambangan. Pihak perusahaan sendiri kelihatannya lebih banyak berdiam seribu bahasa. Pihaknya menyerahkan masalah ini kepada pemerintah dalam hal adanya kebijaksanaan baru. Kesalahan lebih banyak ditimpakan kepada pihak ketiga, para pensupply tenaga kerja. Konon, pihak ketiga inilah yang seringkali mengundang persoalan karena tidak membayar tenaga kerjanya sesuai dengan standar upah minimum, tidak memberikan jaminan sosial, asuransi, jaminan kesehatan bahkan juga mengabaikan upah lembur. 

Tingkat kebutuhan pekerjaan yang sangat tinggi, dibandingkan dengan tingkat kemampuan dan ketrampilan tenaga kerja yang relative rendah, menyebabkan nilai jual dari tenaga kerja semakin rendah pula. Akibatnya mereka menerima saja kondisi yang semakin buruk, asal bisa bekerja. Secara obyektif, kondisi ini menimbulkan adanya pihak yang pro outsourcing maupun pihak yang kontra outsourcing. Apalagi, selain memang termuat dalam undang-undang ketenaga kerjaan, perkembangan alih daya secara nasional maupun internasional juga semakin meningkat. 

Pihak yang kontra outsourcing menengarai terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja. Mereka melanggar batasan tentang ijin alih daya yang hanya diberikan kepada lima bidang kerja sebagaimana disebutkan dalam undang-undang. Sementara Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi di daerah belum dan atau tidak mampu mengawasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut. 

Sementara pihak yang pro outsourcing menyebutkan bahwa perlu penajaman penalaran. Apakah perusahaan yang bersalah, atau sistemnya yang keliru. Hal ini penting dikaji supaya didalam usaha mencari solusi yang komprehensip tidak terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan. Dinyatakan pula bahwa pemahaman tentang outsourcing ini sudah dikenal secara luas baik secara nasional maupun internasional. Ada yang bentuknya pekerja borongan dan pocokan. Pekerja sedemikian dibayar sesuai dengan jasa yang diberikan dalam kurun waktu yang sudah disepakati dan atau ditentukan. Sekaligus hal ini akan merupakan peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan tenaga kerja. 

Pemilihan sumberdaya manusia dalam hal ini juga menjadi semakin obyektif, terutama untuk pekerja yang memerlukan ketrampilan dan kemampuan khusus. Selanjutnya pihak yang setuju adanya alih daya menegaskan bahwa saat ini di Indonesia terdapat 40% dari tenaga kerja yang ditawarkan. Artinya, manakala alih daya dihapuskan, akan terjadi peningkatan luar biasa dari jumlah pengangguran. 

Mungkin, untuk tenaga kerja trampil sedemikian hal ini bisa dibenarkan. Namun, sebagaimana yang terdapat di perusahaan-perusahaan, cukup banyak tenaga kerja yang sifatnya massal. Mereka tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Dari pihak perusahaan sekalipun, tenaga kerja sedemikian memang masih dibutuhkan. 

Kalau pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memang akan mencarikan solusi yang merupakan ‘win-win solution’, tentu harus melakukan pengawasan yang lebih ketat, disamping sosialisasi dari pada prinsip outsourcing itu sendiri. Sehingga tidak dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan nakal yang berorientasi pada tingkat profitable perusahaan. 

Bagaimanapun, aksi-aksi buruh, dengan melakukan serangkaian demonstrasi, tetap merupakan usaha ‘penekanan’ (pressure group) untuk dapat mengharapkan kebijakan pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, lebih berpihak kepada buruh ketimbang berpihak kepada perusahaan semata. *** 

Penulis adalah seorang budayawan dan Guru Besar UMSU, Medan



Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar