Apa yang terjadi atas Palestina
beberapa hari belakangan ini bukanlah
sebuah kisah baru tentang kisah tragedi kemanusiaan di abad ini. Kezaliman Israel kepada penduduk Palestina sudah berpuluh tahun terjadi. Sejak invasi pertama Israel ke Palestina tahun 1948 sampai sekarang, pembunuhan keji terhadap ribuan rakyat Palestina terus berlangsung, tak kenal kata henti. Ironinya, dari sekian banyak negara di dunia yang mengaku antipenjajahan hanya mampu mengucapkan kalimat belasungkawa atau melakukan aksi solidaritas terhadap rakyat Palestina. Hanya aksi itukah yang mampu diberikan masyarakat dunia, khususnya Indonesia atas kejahatan kemanusian di abad ini?
Kalah dengan Bung Karno
Benar, hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel masih tertutup. Namun, kerjasama rahasia kedua negera telah berlangsung cukup intens. Pada masa Abdul Rahman Wahid menjadi presiden tahun 2001, melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/01 Tahun 2001 yang disyahkan olen Luhut Binsar Panjaitan hubungan dagang dua negara telah terjalin erat.
Data dari kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa neraca perdagangan Indonesia-Israel cukup positif. Selama tahun 2005, volume perdagangan kedua negara mencapai US$154 juta. Tahun 2007, total perdagangan Indonesia-Israel mencapai USD 124.100 danmeningkat menjadi USD 116,4jutapadatahun 2008. Tahun 2009, total perdagangan dua negara mencapai USD 91.613 juta dan kembali meningkat menjadi USD 117,5 juta pada tahun 2010. Data tahun 2011 menunjukkan, total perdagangan Indonesia-Israel mencapai USD 69,6juta.
Dan hingga pertengahan tahun ini sudah mencapai USD 79 juta. Produk-produk Israel yang masuk ke Indonesia, mulai dari buah-buahan, pangan, sandang, alat elektronik, senjata serbu, hingga pesawat militer yang bernilai triliunan.
Selain hubungan dagang antara Indonesia dan Israel. Di pasaran juga banyak ditemukan produk yang notabene berafiliasi dengan bangsa Israel, Yahudi. Seorang penyelidik independen PBB tentang pelanggaran HAM yang dilakukan Israel di wilayah Palestina bernama Richard Falk mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan seperti Hewlett Packard, Motorola, Volvo dan Caterpilar merupakan persahaan milik Yahudi yang berperan sebagai donatur Israel Raya.
Pada laporannya ke Majelis Umum PBBB, Falk juga memberikan daftar berisi 13 nama perusahaan yang merupakan milik Yahudi. Pada akhir laporannya, ia juga memberi catatan, bahwa daftar perusahaan itu cuma sebagian kecil dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi atau memiliki kaitan dengan pemukiman Yahudi Israel. Masih banyak produk lain yang membanjiri pasaran dimana sebagian keuntungan produk tersebut digunakan untuk biaya pembantaian rakyat Palestina.
Sesungguhnya para konsumen produk yang berafiliasi dengan Bangsa Israel secara tak sadar turut andil menyumbang setiap peluru yang ditembakkan bangsa Zionis ke dada rakyat Palestina. Jika kita serius membela rakyat Palestina dari penjajahan Israel, mengapa tidak sendari sekarang memboikot seluruh produk mereka?
Pada awal Oktober lalu, di depan Menlu negara ASEAN yang bertempat di markas PBB, Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa tampil bak litlle Soekarno. Beliau menghimbau pemboikotan produk Israel kepada dunia. Saat itu, dunia dibuat terpengarah oleh keberaniannya menantang Israel.
Namun, sayang beribu sayang. Marty rupanya meniru kebiasaan politisi yang kerap menggunakan panggung sebagai tempat pemoles citra. Setelah ajakan boikot itu, tak terdengar langkah strategis merealisasikan ajakan boikot kepada produk Israel.
Jika memang Marty tulus dengan ajakan boikot kepada produk Israel seharusnya dilanjutkan dengan langkah nyata, bukan hanya sekadar retorika. Pertama, meminta presiden mencabut surat keputusan. Menteri perdagangan tahun 2001 yang ditanda tangani oleh Menteri perdagangan (Mendag) Luhut Binsar Panjaitan.
Kedua, seruan pemboikotan dilanjutkan dengan menghentikan kerja sama dengan Israel, seperti membatalkan pembelian peralatan intelijen, menghentikan kunjungan rutin pejabat ke Israel, dan membubarkan kerja sama, baik berupa hubungan dagang maupun sosial budaya.
Ketiga, melarang seluruh importir mengimpor barang produk zionis. Ini langkah paling nyata supaya rakyat Indonesia bisa memutus ketergantungan dengan produk Israel.
Keempat, perlu keteladanan dari pejabat negara,ulama, dan aktivis cinta perdamaian dunia agar menggunakan produk yang bukan berafiliasi dengan bangsa Israel. Sering kita saksikan para aktivis yang melakukan aksi solidaritas Palestina malah menggunakan produk milik Yahudi, tak konsisten.
Kita perlu belajar dari ketegasan Bung Karno dalam membela Palestina. Pada tahun 1962, beliau ditanya oleh wartawan tentang penolakannya pada Israel dan Taiwan.
Bapak Proklamator Indonesia itu menjawab, "Untuk Taiwan saya rasa urusannya jelas, kami hanya mengakui satu Negara Tjina yaitu RRT, itu yang didaratan, lain negara tidak dan untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel".
Omongan Bung Karno bukan sekadar mencari popularitas seperti kebiasaan politisi sekarang: lain di mulut, lain dihati. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962, beliau menolak keikutsertaan Israel pada ajang olah raga bergengsi Asia tersebut. Dan keberanian Bung Karno kemudian diikuti oleh banyak negara sampai-sampai Israel tidak bisa diikutkan dalam zona Asia untuk sepak bola karena tak ada yang mau bertanding dengan Israel.
Sayang, pascakepemimpinan Soekarno, tak ada lagi pemimpin negeri ini yang berani berkonfrontasi langsung dengan Israel.
Sejarah mengajarkan jika kepentingan Amerika dan Yahudi terancam, mereka akan mengendurkan syahwat kuasanya. Hugo Chaves dan rakyat Venezuela bisa membuatPaman Sam pusing tujuh keliling, apalagi jika seluruh rakyat negeri ini bersatu padu memboikot seluruh produk Yahudi.
Ajakan boikotmerupakan jihad dalam damai tapi sungguh efektif jika dilakukan secara massif dan berkesinambungan. Sebuah perang tanpa tetesan darah dan air mata. Sanggupkah kita berjihad atas nama kemanusiaan melawan angkara murka yang ditebar Israel ke bumi Palestina? Atau cukup hanya berbelasungkawa dengan melakukan aksi solidaritas Palestina. ***
Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan/Direktur Lembaga Penelitian Agama dan Sosial (Lepas)
sebuah kisah baru tentang kisah tragedi kemanusiaan di abad ini. Kezaliman Israel kepada penduduk Palestina sudah berpuluh tahun terjadi. Sejak invasi pertama Israel ke Palestina tahun 1948 sampai sekarang, pembunuhan keji terhadap ribuan rakyat Palestina terus berlangsung, tak kenal kata henti. Ironinya, dari sekian banyak negara di dunia yang mengaku antipenjajahan hanya mampu mengucapkan kalimat belasungkawa atau melakukan aksi solidaritas terhadap rakyat Palestina. Hanya aksi itukah yang mampu diberikan masyarakat dunia, khususnya Indonesia atas kejahatan kemanusian di abad ini?
Kalah dengan Bung Karno
Benar, hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel masih tertutup. Namun, kerjasama rahasia kedua negera telah berlangsung cukup intens. Pada masa Abdul Rahman Wahid menjadi presiden tahun 2001, melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/01 Tahun 2001 yang disyahkan olen Luhut Binsar Panjaitan hubungan dagang dua negara telah terjalin erat.
Data dari kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa neraca perdagangan Indonesia-Israel cukup positif. Selama tahun 2005, volume perdagangan kedua negara mencapai US$154 juta. Tahun 2007, total perdagangan Indonesia-Israel mencapai USD 124.100 danmeningkat menjadi USD 116,4jutapadatahun 2008. Tahun 2009, total perdagangan dua negara mencapai USD 91.613 juta dan kembali meningkat menjadi USD 117,5 juta pada tahun 2010. Data tahun 2011 menunjukkan, total perdagangan Indonesia-Israel mencapai USD 69,6juta.
Dan hingga pertengahan tahun ini sudah mencapai USD 79 juta. Produk-produk Israel yang masuk ke Indonesia, mulai dari buah-buahan, pangan, sandang, alat elektronik, senjata serbu, hingga pesawat militer yang bernilai triliunan.
Selain hubungan dagang antara Indonesia dan Israel. Di pasaran juga banyak ditemukan produk yang notabene berafiliasi dengan bangsa Israel, Yahudi. Seorang penyelidik independen PBB tentang pelanggaran HAM yang dilakukan Israel di wilayah Palestina bernama Richard Falk mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan seperti Hewlett Packard, Motorola, Volvo dan Caterpilar merupakan persahaan milik Yahudi yang berperan sebagai donatur Israel Raya.
Pada laporannya ke Majelis Umum PBBB, Falk juga memberikan daftar berisi 13 nama perusahaan yang merupakan milik Yahudi. Pada akhir laporannya, ia juga memberi catatan, bahwa daftar perusahaan itu cuma sebagian kecil dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi atau memiliki kaitan dengan pemukiman Yahudi Israel. Masih banyak produk lain yang membanjiri pasaran dimana sebagian keuntungan produk tersebut digunakan untuk biaya pembantaian rakyat Palestina.
Sesungguhnya para konsumen produk yang berafiliasi dengan Bangsa Israel secara tak sadar turut andil menyumbang setiap peluru yang ditembakkan bangsa Zionis ke dada rakyat Palestina. Jika kita serius membela rakyat Palestina dari penjajahan Israel, mengapa tidak sendari sekarang memboikot seluruh produk mereka?
Pada awal Oktober lalu, di depan Menlu negara ASEAN yang bertempat di markas PBB, Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa tampil bak litlle Soekarno. Beliau menghimbau pemboikotan produk Israel kepada dunia. Saat itu, dunia dibuat terpengarah oleh keberaniannya menantang Israel.
Namun, sayang beribu sayang. Marty rupanya meniru kebiasaan politisi yang kerap menggunakan panggung sebagai tempat pemoles citra. Setelah ajakan boikot itu, tak terdengar langkah strategis merealisasikan ajakan boikot kepada produk Israel.
Jika memang Marty tulus dengan ajakan boikot kepada produk Israel seharusnya dilanjutkan dengan langkah nyata, bukan hanya sekadar retorika. Pertama, meminta presiden mencabut surat keputusan. Menteri perdagangan tahun 2001 yang ditanda tangani oleh Menteri perdagangan (Mendag) Luhut Binsar Panjaitan.
Kedua, seruan pemboikotan dilanjutkan dengan menghentikan kerja sama dengan Israel, seperti membatalkan pembelian peralatan intelijen, menghentikan kunjungan rutin pejabat ke Israel, dan membubarkan kerja sama, baik berupa hubungan dagang maupun sosial budaya.
Ketiga, melarang seluruh importir mengimpor barang produk zionis. Ini langkah paling nyata supaya rakyat Indonesia bisa memutus ketergantungan dengan produk Israel.
Keempat, perlu keteladanan dari pejabat negara,ulama, dan aktivis cinta perdamaian dunia agar menggunakan produk yang bukan berafiliasi dengan bangsa Israel. Sering kita saksikan para aktivis yang melakukan aksi solidaritas Palestina malah menggunakan produk milik Yahudi, tak konsisten.
Kita perlu belajar dari ketegasan Bung Karno dalam membela Palestina. Pada tahun 1962, beliau ditanya oleh wartawan tentang penolakannya pada Israel dan Taiwan.
Bapak Proklamator Indonesia itu menjawab, "Untuk Taiwan saya rasa urusannya jelas, kami hanya mengakui satu Negara Tjina yaitu RRT, itu yang didaratan, lain negara tidak dan untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel".
Omongan Bung Karno bukan sekadar mencari popularitas seperti kebiasaan politisi sekarang: lain di mulut, lain dihati. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962, beliau menolak keikutsertaan Israel pada ajang olah raga bergengsi Asia tersebut. Dan keberanian Bung Karno kemudian diikuti oleh banyak negara sampai-sampai Israel tidak bisa diikutkan dalam zona Asia untuk sepak bola karena tak ada yang mau bertanding dengan Israel.
Sayang, pascakepemimpinan Soekarno, tak ada lagi pemimpin negeri ini yang berani berkonfrontasi langsung dengan Israel.
Sejarah mengajarkan jika kepentingan Amerika dan Yahudi terancam, mereka akan mengendurkan syahwat kuasanya. Hugo Chaves dan rakyat Venezuela bisa membuatPaman Sam pusing tujuh keliling, apalagi jika seluruh rakyat negeri ini bersatu padu memboikot seluruh produk Yahudi.
Ajakan boikotmerupakan jihad dalam damai tapi sungguh efektif jika dilakukan secara massif dan berkesinambungan. Sebuah perang tanpa tetesan darah dan air mata. Sanggupkah kita berjihad atas nama kemanusiaan melawan angkara murka yang ditebar Israel ke bumi Palestina? Atau cukup hanya berbelasungkawa dengan melakukan aksi solidaritas Palestina. ***
Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan/Direktur Lembaga Penelitian Agama dan Sosial (Lepas)
Sumber : Analisa
0 komentar:
Posting Komentar