Politik Uang Menjelang Pemilihan Gubernur Sumut

Senin, 26 November 2012

Pada tahun 2013 setidaknya tercatat sebanyak 15 (lima belas) kali pemilihan gubernur di seluruh Indonesia yang masa jabatannya segera berahir untuk segera dilangsungkan pemilihan, setidaknya tiga bulan diawal tahun 2013 tercatat lima kali pemilihan gubernur berturut-turut Sulawesi Selatan, Papua, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Jawa Tengah.
Melihat konstelasi dinamika dalam pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati, dan walikota menjelang dilangsungkan pemilihan umum tahun 2014 tidak dipungkiri sarat dengan kepentingan politik khususnya partai politik peserta pemilu yang saat ini sedang dalam tahap verifikasi administrasi dan faktual untuk lolos sebagai parpol peserta pemilu tahun 2014.

Pilgub provinsi Sumatera Utara yang sebentar lagi akan digelar bagi parpol pengusung calon peserta pilgub berkepentingan mengumpulkan pundi-pundi modal baik berupa finansial, barang, jasa dan kesempatan dari para calon gubernur dengan harga sewa perahu atau mahar untuk calon yang maju dalam pilgub dengan harga yang mahal sesuai tingkat perolehan suara atau jumlah kursi yang dimiliki masing-masing parpol sebagai modal usaha mengikuti pemilu 2014.

Semakin besar suara dukungan konstituen dan banyaknya kursi yang dimiliki di DPRD dari masing-masing partai, semakin mahal harga sewa perahu dan mahar yang dibayarkan oleh calon kepada parpol pengusung. Sebagaimana dikutip oleh Koran harian Analisa bahwa penyelenggaraan Pilgub Sumut oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Utara, dengan telah keluarnya Keputusan KPU Sumut Nomor 1/2012 tentang Tahapan Jadwal dan Program Pilkada Sumut 2013, yang menetapkan 7 Maret sebagai tanggal pemungutan suara (Analisa, 16/11).

Dalam tahap pencalonan partai politik, gabungan partai politik, dan perseorangan terdapat 5 (lima) pasang calon minus incumbent (petahana) setelah deal-deal (kesepakatan) akhirnya partai politik seperti yang telah diperkirakan sebelumnya yaitu:

Pertama, pasangan H Gatot Pujo Nugroho,ST-Ir H Tengku Erry Nuradi didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hati Nurani Rakyat (Hanura), Patriot, Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).

Kedua, Pasangan Chairuman Harahap-Fadly Nurzal didukung Partai Golkar (13 kursi), PPP (7 kursi), Partai Buruh (46 lebih ribu suara sah), Republikan (73 lebih suara sah), Pemuda Indonesia (33 ribu lebih suara sah), dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) tetapi dukungan PPPI belum ditandatangani ketua dan sekretaris.

Ketiga, Pasangan calon  Amri Tambunan-RE Nainggolan diusung Demokrat dan Partai Damai Sejahtera. Ketiga pasangan Effendi Simbolon-Jumiran diusung PDIP dan PPRN dan terakhir pasangan Gus Irawan- Soekirman yang belum dapat dipastikan akan diusung Gerindra dan, Partai kebangkitan Bangsa, Partai Bulan Bintang, Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi dan 18 partai kecil.

Sebagaimana ketentuan dari KPU Provinsi Sumut menyatakan partai politik yang dapat mengajukan calon memiliki sedikitnya 15 kursi di DPRD Sumut atau minimal memiliki 785.187 suara sah hasil Pemilu DPRD Sumut tahun 2009.

Konsekwensinya calon mengeluarkan biaya ekstra diluar biaya yang dilaporkan sebagai rekening resmi pasangan calon kepada KPU sudah menjadi rahasia umum, meskipun dalam ketentuan perundang-undangan mengatur tentang sumber pendanaan dan batasan sumbangan baik perseorangan dan koorporasi kemungkinan mengelabuhi dengan disamarkan dan atau dipindahtangankan kepihak ketiga dalam rangka menghindari pelaporan dan audit.

Sementara pelaporan rekening resmi pasangan calon yang diserahkan kepada KPU untuk diaudit sebelum dan sesudah pemilukada hanya bersifat formalitas semata dalam rangka mensiasati hasil audit oleh akuntan publik, seolah-olah sumber dan pelaporan pendanaan transparan dalam rangka mendapatkan simpati publik padahal sesungguhnya merupakan episode babak awal dari ketidaktransparanan yang menuju pada perilaku korupsi.

Maraknya modus politik uang dalam berbagai pemilihan kepala daerah di seluruh pelosok tanah air dengan cara dan berbeda-beda tetapi substansinya sama, mulai dari bantuan sosial (bansos), bantuan sarana ibadah, pemberian kredi tanpa anggunan, dan kegiatan masyarakat dengan memberikan bantuan sarana olahraga, sosial kemasyarakatan serta keagamaan seperti pemberian buku yasin yang didalamnya diselipkan gambar bakal calon disertai dengan kalimat mohon do’a restu dan dukungan untuk menjadi kepala daerah.

Sudah bukan menjadi rahasia umum di provinsi Sumatera Utara khusus di kota Medan para calon gubernur periode 2013-2018 telah memulai kampanye jauh hari sebelum tahapan pilgub dimulai dengan berbagai bentuk yang beragam mulai dari memasang binder di becak bermotor (betor), spanduk, baliho, pamphlet dan stiker diberbagai sudut kota intinya menyampaikan pesan dukungan untuk menjadi gubernur Sumut dan hampir tidak dijumpai pesan yang menyatakan sebaliknya siap kalah untuk tidak terpilih sebagai gubernur.

Menangkap isi dari pesan para bakal calon gubernur ditengerai keinginan kuat harus memenangi pilgub Sumut dengan berbagai cara akan dilakukan, tentu akan menjadi ancaman keberlangsungan sistem demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan pengorbanan yang besar, serta menghianati amanah dan cita-cita revormasi.

Praktik kotor mulai dipertontonkan dengan model menarik dukungan pemilih lebih bersifat transaksional, bukan visi dan misi yang tersusun dalam program kerja yang langsung dirasakan masyarakat, strategi calon dan atau tim sukses guna mendulang suara melalui jual beli suara didasarkan pada untung rugi berakibat menguatkan stikmatisasi negatif publik bahwa Sumut (semua urusan mesti tunai) terbukti perilaku kotor praktik koruptif di Sumut terasa kuat dan seolah menjadi ikon provinsi terbesar di Sumatera.

Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah pemprov Sumut dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pelayanan publik, sebagaimana persepsi dari tingkat kepuasan terhadap pemerintah provinsi tentang persoalan buruknya infrastruktur dan kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan sebagaimana mengutip hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) di semua Kabupaten/Kota di Sumut dengan sampel sebanyak 1.070 jiwa.

Survei dengan memakai teknik pencuplikan secara rambang berjenjang (multistage random sampling) dengan simpangan kesalahan sebesar 3 persen dan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen, hasil survei pada tanggal 8-19 Oktober 2012, sekitar 64 persen responden tidak puas terhadap kinerja gubernur saat ini dan hanya 30 persen yang puas.

Melihat data diatas tentu publik seharusnya kritis melihat 5 pasangan calon yang hendak memperebutkan kursi orang nomor satu di Sumut benar-benar figur yang terbebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai pengalaman dalam memilih gubernur sebelumnya menjadi pelajaran tidak terulang keduakalinya. ***

Penulis adalah Penggiat Hukum Kenegaraan dan Konstitusi, Mahasiswa S-2 Hukum Kenegaraan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan



Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar