APVA: UU Mata Uang Dukung Pedagang Valas

Jumat, 16 November 2012


Jakarta, (Analisa). Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sebagai dukungan pemerintah terhadap bisnis penukaran mata uang asing.
"UU itu merupakan momentum yang bagus untuk pedagang valas karena mendorong penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi," kata Ketua Umum Badan Pengurus Pusat APVA Muhamad Idrus saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Dengan demikian, semua transaksi ritel akan menggunakan mata uang rupiah dan bukan mata uang lain.

Menurut dia, penggunaan mata uang asing menjadi sangat lumrah di sejumlah tempat seperti kawasan perbatasan, pariwisata dan perbelanjaan.

"Penggunaan mata uang asing sangat dominan misalnya di Bali, Batam atau di Pasar Baru, Bandung," katanya.

Idrus menilai penggunaan dolar di Bali dan Batam, atau penggunaan ringgit di kawasan perbatasan cukup menyesatkan.

"Padahal "kan kita tinggal di Indonesia, tetapi banyak hotel dan cafe yang memasang tarif dengan dolar," katanya.

UU itu, menurut Idrus, juga menjadi peluang pedagang valas legal untuk bisa mengembangkan bisnis penukaran mata uang di Indonesia.

Jika tarif hotel atau transaksi ritel lain diharuskan untuk menggunakan rupiah, itu artinya pemegang mata uang asing akan banyak menggunakan jasa "money changer".

"Sehingga nanti orang memakai "money changer" untuk transaksi ritel, sesuai dengan harapan kami, tapi terutama untuk menggalakkan penggunaan rupiah di Indonesia," ujarnya.

Industri valas menjadi bergeliat, salah satunya karena dukungan pariwisata selain aktifnya kegiatan ekspor-impor di Indonesia.

Namun kini, cederungan persaingan di industri valas makin tidak sehat. Masing-masing pedagang valas "saling membunuh" untuk memenangkan persaingan atau meraih konsumen. Keuntungan yang dipatok semakin kecil, hingga banyak pedagang valas mati suri.

"Kalau mau dikatakan, memang sudah saling membunuh," kata Ketua Asosiasi Pedagang Valuta Asing Idrus Muhamad di Jakarta, Rabu (14/11).

Ia menambahkan selain persaingan harga antar pedagang, pelaku juga terhimpit oleh perbankan yang diperolehkan melakukan transaksi valas. "Dulu bank diatur, sekarang ritel berapapun bisa. Ini membuat kami tertekan. Padahal industri valas juga memiliki kontribusi dari anak negeri," tegas Idrus.

Untuk mengawal industri valas menjadi lebih sehat, ia berharap ada komunikasi yang lebih intensif dengan Bank Indonesia (BI). Termasuk mendorong segera terbit Undang-Undang khusus tentang valas.

"Koordinasi yang lebih jauh dengan BI, agar industri money changer lebih kompetitif. Jauh lebih besar. Kabarnya BI akan mengeluarkan UU itu, seperti yang kita suarakan sejak lama," tegasnya.

"Aturan nanti diharapkan lebih menyehatkan industri, termasuk mengatur lokasi pedagang valas agar tidak saling membunuh. Seperti halnya waralaba," paparnya.

Asosiasi Pedagang Valuta Asing juga mendorong BI mengklasifikasi anggota yang memiliki izin resmi dari bank sentral. Diakui Idrus, pedagang yang tidak memiliki izin dari BI menerapkan bisnis valas yang justru membunuh industri itu sendiri.

"Kita akan ajak pengusaha yang belum legal, untuk melegalkan diri dan menjadi bagian dari asosiasi," tegasnya.

"Selain itu, koordinasi yang lebih erat tidak hanya dengan BI, tapi juga PPATK, Kepolisian, Kemenkeu melalui Ditjen Pajak, dan Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, karena industri ini erat kaitannya dengan wisatawan asing," imbuh Idrus.






Sumber : Analisa 

0 komentar:

Posting Komentar