Menungggu "Pancungan" TKI Berikutnya?

Selasa, 13 November 2012


Oleh : Kukuh Tejomurti, S.H, LL.M. "Aku ikhlas mati asal punya arti. Aku memilih mati demi kehormatan oleh hukum dunia yang disebut pembunuhan". Mengutip kalimat seorang Aminah alias Minah (Tenaga Kerja Indonesia / TKI) yang mati dipancung di Arab Saudi,kalimat itu Minah tulis di balik jeruji besi karena ia dituduh membunuh majikannya dengan cara menusukkan gunting di perut majikannya.
Teringat kalimat menyakitkan tulisan Minah tersebut, penulis merasa prihatin untuk sekian kalinya dengan apa yang terjadi pada dua Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita yang bakal terancam hukuman gantung di Malaysia. Dua TKI kita bernama Frans Hiu dan Dhary Frully, mereka adalah kakak beradik yang bekerja di sebuah toko di Malaysia. Mereka berdua sekarang dalam proses pengadilan Malaysia karena mereka dianggap telah membunuh seorang pencuri di toko majikannya.

Kalau pemerintah Indonesia gagal memenangkan perkaranya (Ferry dan Dhary Frully) di pengadilan, ancaman hukum gantung hingga mati bakal jadi kenyataannya. Pertanyaan besar saat ini adalah apakah fenomena "Minah Terpancung" bakal dilanjutkan dengan episode terbaru yaitu "digantungnya kakak beradik" di Malaysia?

Jawaban tegas kita adalah "Tidak" dan jangan sampai terulang lagi warga bangsa kita mati sia-sia di Malaysia karena kegagalan sebuah fungsi pemerintahan negara. Pemerintahan negara yang telah menerima pendapatan dari hasil "pungutan atau asuransi" TKI harus tanpa terkecuali wajib melindungi warga negaranya yang tengah bekerja di negara tetangga, apapun itu alasannya.

Perlindungan Hukum 

Dalam hal ini harus diakui kasus Frans Hiu dan Dhary Frully pemerintah tidak kecolongan seperti kasus Ruyati atau Minah Yang Terpancung di Arab Saudi. Namun meski begitu perwakilan pemerintah kita harus tanggap dan profesional dalam menangani perkara di pengadilan Malaysia, jika tidak maka nyawa dua warga negara kita melayang di tiang gantungan. 

Pada prinsipnya dalam konteks hukum diplomatik dan konsuler, ada kewajiban negara lain untuk memberitahukan kepada pejabat konsuler kita jika ada warga negara Indonesia yang terkena kasus hukum dan adanya fungsi melindungi pejabat konsuler kita kepada warga negaranya (The Vienna Convention On Consular Relations 1963, art. 5).

Ada beberapa keganjilan dalam kasus Frans Hiu dan Dhary Frully, pada pengadilan tingkat pertama ada tiga terdakwa yang divonis ( 1 diantaranya adalah warga Malaysia, 2 adalah TKI), mereka bertiga divonis bebas di pengadilan tingkat pertama. Namun, keluarga Kharti Raja (pencuri yang diduga terbunuh oleh para terdakwa) mengajukan banding ke pengadilan tinggi Malaysia dan kemudian hanya 2 TKI kita yang dihukum dan diancam vonis hukuman gantung.

Ada sebuah ketidakadilan dalam kasus ini, mengapa pada tingkat banding hanya 2 TKI kita yang dihukum? Perwakilan yang berwenang dari negara Malaysia harus bertanggung jawab akan hal ini, bila tidak, dapat dianggap telah melanggar norma-norma hukum internasional dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini dapat dijadikan celah hukum oleh para pengacara kita yang mendampingi 2 TKI kita dan bila perlu demi kepentingan Hak Asasi Manusia warga negara kita, pemerintah Indonesia dapat mengadukan kepada Dewan HAM di PBB karena Malaysia telah melanggar hukum HAM.

Diplomasi Pemerintah

Dalam konteks hubungan internasional, pemerintah Indonesia harus bisa mengintervensi pemerintah Malaysia. Dalam konteks hubungan internasional, intervensi pemerintah terhadap pemerintah negara lain itu adalah hal biasa. Sebagai contoh: pemerintah Australia saja bisa melakukan intervensi dengan kasus sapi Australia yang diekspor ke Indonesia, masalah tersebut masih menyangkut masalah nyawa sapi, ironis bila ini adalah menyangkut masalah nyawa manusia namun pemerintah hanya bekerja ala kadarnya.

Atau kita bisa mencontoh Almarhum Mantan Presiden Indonesia, Gus Dur. Saat itu Gus Dur bertemu Raja Fath (Raja Arab Saudi) untuk memohon bantuan dalam membebaskan TKI kita yang bermasalah dengan hukum. 

Gus Dur melakukan hal demikian karena sulitnya perwakilan pemerintah Indonesia menembus rumitnya birokrasi pemerintahan Arab Saudi untuk membebaskan TKI kita yang bermasalah dengan hukum.

Penutup

Semoga tidak ada lagi kisah Ruyati dan Minah yang terpancung episode berikutnya yaitu digantungnya Frans Hiu dan Dhary Frully hingga mati di Malaysia. Para TKI kita sudah lelah diperas dengan asuransi-asuransi, pungutan liar akan tetapi mereka tetap saja menderita dan sulit mendapatkan apa itu keadilan.

Kita tidak butuh hanya pidato-pidato pencitraan Presiden seperti yang terjadi di Jenewa, Swiss dengan tema perlindungan bagi kaum buruh. Kita juga tidak butuh protes-protes dan rasa penyesalan para menteri terkait hal ini, yang kita butuhkan adalah keadilan dan kesejahteraan warga negara kita terlindungi.***

* Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum USU, dan pemerhati hubungan internasional.



Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar