Meminimalkan Monopoli Pengusaha

Selasa, 13 November 2012


Oleh : Ir. Fadmin Prihatin Malau. Seorang penulis yang arif harus cerdas melihat akar masalah dari satu masalah sehingga ditemukan solusi yang tepat dan dapat menentukan dimana titik kelemahan (kesalahan) itu untuk dilakukan perbaikan oleh pihak yang berkompeten memperbaiki kesalahan itu. Tidak boleh melakukan pembelaan yang tanpa dasar akan tetapi membela berdasarkan data dan fakta faktual yang teruji.
Penulis menulis tulisan ini untuk mensinergi tulisan opini Manosor Panjaitan pada Opini harian Analisa (7/11/2012) berjudul, "Seyogianya Buruh Melakukan Barter" yang mengulas tulisan penulis sebelumnya berjudul, "Untung Rugi Menghapuskan Outsourcing" pada halaman yang sama harian Analisa (15/10/2012) agar lebih jelas dan terang benderang. 

Pada prinsipnya penulis setuju dengan tulisan Manosor Panjaitan selaku kepala personalia dan hubungan masyarakat (Humas) pada satu industri CPO. Namun, karena seorang penulis harus arif, bijaksana melihat akar masalah dari satu masalah maka penulis kembali menperjelas dan mempertegas tulisan terdahulu (red: Untung Rugi Menghapuskan Outsourcing). 

Mencari akal masalah sebenarnya telah diterapkan pada system manajemen modern di perusahaan yang dikenal dengan Total Quality Manajemen (TQM) yang melibatkan semua unsur yang ada diperusahaan itu, karena kemajuan satu perusahaan ditentukan oleh semua komponen yang ada di perusahaan tanpa terkecuali maka pengusaha dan buruh satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pengusaha ada karena ada buruh dan buruh ada karena pengusaha ada.

Siapakah pengusaha itu? Pengusaha itu pemilik modal. Siapakah buruh itu? Semua orang yang menjalankan, menggunakan modal dari si pengusaha dalam satu system manajemen pada sebuah perusahaan maka semua yang ada diperusahaan, mulai dari Direktur, General Manager, Manager, Supertendent dan sampai kepada helper adalah buruh atau pekerja. Hal ini sesuai dengan Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3 tertulis, "Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain"

Nah, semua orang yang bekerja dan menerima upah pada satu perusahaan adalah pekerja/buruh. Beruntung penulis pernah menjadi Human Resources Development (HRD), pernah menjadi Media Relations, menjadi Public Relations, menjadi Manager Operasional dan pernah juga menjadi Operator pada perusahan serta menjadi ketua serikat pekerja pada sebuah perusahaan. Semuanya itu hanya jabatan dalam satu system manajemen dan penulis sesungguhnya seorang buruh/pekerja dan bukan pengusaha.

Hal ini penting dipahami semua pihak agar satu persepsi (pandangan) tentang pekerja/buruh sehingga pengalaman penulis ketika bulan lalu menjadi pembicara pada diskusi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Deli Serdang, anggapan pekerja/buruh itu hanyalah pekerja pabrik saja dan pekerja pabrik juga menilai bila sudah jabatannya diatas supervisor (kepala seksi) sudah tidak pekerja/buruh lagi pada hal masih menerima upah/gaji dari pengusaha.

Akar Masalah Pasal Outsourcing

Bila Manosor Panjaitan kembali membaca tulisan saya berjudul "Untung Rugi Menghapuskan Outsourcing" sesungguhnya akar masalah Outsourcing bukan pada pekerja/buruh akan tetapi kepada pemerintah yakni tulisan dimulai dari latar belakang adanya pasal Outsourcing dalam UU Nomor 13 tahun 2003 yang dikeluarkan pemerintah semasa presiden Indonesia, Megawati Soekarno Putri. Jelas latar belakang, asal usul dan semangatnya untuk mengembangkan perusahaan di Indonesia, memproteksi terjadinya monopoli pada satu perusahaan. 

Dalam perjalanan pelaksanaannya kurang (tidak) tepat sehingga tujuan Outsourcing yang sesungguhnya tidak diwujud makanya ketika uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Mahkamah Agung (MA) membatalkan pasal Outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebab bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan nilai-nilai Pancasila.

Indikator dilapangan sangat jelas banyak perusahaan muncul di Indonesia akan tetapi perusahaan yang tanpa produksi, hanya jumlah perusahaan yang bertambah akan tetapi produksi tidak bertambah. Seharusnya jika jumlah perusahaan bertambah maka produksi bertambah. Hal ini adalah logika dasar dan bila produksi tidak bertambah maka tidak akan mendatangkan keuntungan buat masyarakat, rakyat dan Negara.

Ini bukan pemikiran yang mengejutkan dari penulis (seperti ditulis Manosor Panjaitan dalam tulisannya), akan tetapi ini fakta faktual dilapangan dan tidak bertambahnya produksi perusahaan bukan karena pekerja/buruh tidak bekerja maksimal, bukan karena sibuk menuntut hak-hak normatifnya, akan tetapi perusahaan yang muncul adalah perusahaan menjual tenaga kerja (suplay manfower) yang banyak pihak mengatakan menjurus kepada perdagangan manusia. 

Pada hal kini perusahaan di Indonesia berusaha untuk dapat sejajar bahkan lebih hebat dengan perusahaan sejenis di luar negeri dengan menerapkan system pemberdayaan manusia (pekerja/buruh) yang dikenal dengan Human Resources Development (HRD) dan secara bertahap meninggalkan system personalia karena HRD fokus menjadikan pekerja/buruh sebagai subjek, bukan sebagai objek, sedangkan Personalia fokus menjadikan pekerja/buruh sebagai objek.

Hal ini sangat sejalan dengan globalisasi dunia usaha berstandar internasional dengan adanya Global Competitiveness Index (GCI), menerapkan System Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), ISO dan lainnya dengan tujuan agar prodak Indonesia dapat bersaing di dunia internasional. Pasal outsourcing dalam UU No.13/2003 ingin meminimalkan monopoli pengusaha di Indonesia dan menumbuhkan banyak perusahaan baru untuk meningkatkan produksi. 

Sederhananya, outsourcing memunculkan perusahaan baru yang mendukung perusahaan yang sudah ada sehingga perusahaan yang sudah ada dapat fokus untuk berproduksi maksimal. Contohnya ada perusahaan A yang memproduksi CPO, untuk transpoter dilakukan perusahaan B (bukan perusahaan A). Akan tetapi para pekerja/buruh di perusahaan B system kerjanya sama dengan di perusahaan A yakni merujuk kepada UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal inilah sesungguhnya outsourcing atau alih daya itu.

Bila ini yang terjadi maka keinginan dari UU No. 13/2003 pasal outsourcing untuk meminimalkan monopoli pengusaha dapat terwujud dan produktifitas tenaga kerja meningkat dan perusahaan dapat menghasilkan prodak lebih banyak dengan kualitas bersaing secara internasional.

Nah, inilah akar masalah dari outsourcing, bukan karena pekerja/buruh dan bukan karena dari perusahaan dan pengusaha akan tetapi regulasi (Undang-Undang) yang kurang (tidak) tepat dalam penempatannya. Lebih bijak bila pasal outsourcing masuk dalam UU Perseroan Terbatas (PT) atau ada Keputusan Presiden (Kepres) atau Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian/perdagangan yang mengatur agar jangan terjadi system monopoli pengusaha di Indonesia.

Jelas dan terang benderang akar masalah outsourcing yang sebenarnya. Solusi barter dengan kemampuan buruh tidak berhubungan dengan outsourcing dan itu sudah jelas diatur dalam UU No.13/2003 dan diperjelas lagi dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada di perusahaan. Solusinya akar masalah outsourcing harus segera dijawab, diselesaikan oleh pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah selaku pemegang regulasi. Jangan melakukan pembiaran yang akhirnya merugikan semua pihak, merugikan bangsa dan Negara. ***

Penulis adalah Sekretaris Lembaga Pemantau Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (LP3-NKRI) Kabupaten Deli Serdang.


Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar