KPK: Tak Ada Orang Miskin yang Korupsi

Jumat, 30 November 2012


Kendari, (Analisa). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi tiga kategori oknum pelaku koruptor yakni dari kalangan orang cerdas, orang kaya dan penguasa yang berarti tidak ada orang miskin.
"KPK berdiri sejak delapan tahun lalu. Pengalaman delapan tahun tersebut belum pernah menangkap koruptor dari kalangan orang miskin. Dipastikan yang bersangkutan orang kaya, cerdas dan menduduki kekuasaan," kata Penasehat KPK Said Zainal Abdidin di Kendari, Kamis.

Seseorang yang menduduki suatu jabatan atau kekuasaan berpotensi menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu koorporasi.

"Tak ada orang bodoh yang melakukan korupsi. Sekian pelaku korupsi yang diproses KPK adalah orang-orang memiliki sumber daya yang bagus," kata Said dalam sesi seminar pencegahan korupsi di Kendari. 

Secara garis besar bahwa korupsi terjadi karena faktor budaya, faktor psikologi dan faktor sosial.

"Korupsi meresahkan tetapi sebagian masyarakat menerimanya. Ini yang aneh di Indonesia. Korupsi terjadi karena ada yang memberi dan ada yang menerima," katanya.

Seminar pencegahan korupsi yang digelar KPK bersama BPKP dan Pemerintah Kota Kendari diikuti kalangan pejabat birokrasi setempat, unsur lembaga swadaya masyarakat dan penggiat anti korupsi. 

Gratifikasi daring

Terpisah, KPK melalui Direktorat Gratifikasi bekerjasama dengan United Stated Agency for International Development (USAID) dan Management System International (MSI) mengembangkan modul gratifikasi daring.

"Untuk memudahkan pelapor dan memudahkan orang mau belajar tentang gratifikasi dengan cara yang menyenangkan," kata Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono, dalam peluncuran e-Modul Gratifikasi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Menurut Giri, KPK juga sedang menyiapkan sistem daring untuk pelaporan dan interaksi tentang gratifikasi antara masyarakat dengan pegawai KPK.

"Ke depan disiapkan menjadi perangkat infrastruktur dasar nanti kalau lapor di situ, ingin dialog dengan pegawai KPK juga. Pegawai KPK kan sedikit untuk meng-counter seluruh pegawai negeri," ujar Giri.

Giri menjelaskan, gratifikasi berbeda dengan Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang mewajibkan seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk melapor.

"LHKPN hanya penyelenggara negara pejabatnya, sementara gratifikasi semua PNS yang lima juta lebih itu harus lapor," katanya.

Giri juga menyampaikan inisiatif komisinya untuk menciptakan Undang-Undang yang mengatur pelarangan tindak pidana korupsi di lembaga swasta agar dapat melindungi iklim bisnis di Indonesia.

"Ke depan secara perundang-undangan kita sebenarnya ingin lebih kuat lagi Indonesia bisa menindak korupsi di swasta. Orang swasta tidak bisa memberikan sembarangan terbebas dari pidana sekarang dalam hal gratifikasi atau sesama swasta konglalikong untuk menghancurkan swasta yang lain, itu akan merusak iklim bisnis," ujarnya.

Senada dengan Giri, Wakil Ketua KPK, Zulkarnain mengatakan penggunaan sistem daring dapat bermanfaat dalam menyebarluaskan pengetahuan tentang gratifikasi kepada masyarakat banyak.

"Dengan kita menggunakan sarana internet jadi juga kita bisa menyebarkan lebih luas, sehingga nanti masyarakat secara cepat, bisa mengetahui mana yang gratifikasi mana yang tidak dan apa yang harus dilakukan," kata Zulkarnain saat ditemui dalam acara yang sama.

Zulkarnain juga menyebutkan kemungkinan penggunaan media film animasi untuk menimbulkan daya tarik dalam upaya perbaikan integritas.



Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar