Mencari Duplikat Jokowi

Senin, 12 November 2012

Oleh: Rizal R Surya. KEMENANGAN pasangan Jokowi Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang baru lalu dianggap fenomenal.
Dianggap fenomenal karena awalnya pasangan ini hanya ‘dilirik’ sebelah mata. Bahkan seluruh lembaga survei salah memprediksi. 

Gubernur petahana (incumbent), Fauzi Bowo (Foke) diprediksi akan memperpanjang masa tugasnya. Sampai-sampai siapa wakilnya tidak dipersoalkan. Foke diprediksi menang dalam satu putaran.

Prediksi ini--termasuk yang dilakukan lembaga survei--diyakini banyak kalangan. Dalihnya juga cukup kuat. Selain petahana, Foke didukung partai pemenang Pemilu 2009, Partai Demokrat dan partai lainnya. Bahkan pada putaran kedua, seluruh partai ramai-ramai ‘mengeroyok’ Jokowi-Ahok yang ‘hanya’ didukung PDIP dan Gerindra.

Tapi, kenyataan berkata lain. Jokowi-Ahok tampil sebagai pemenang meski sempat diterpa isu SARA.

Banyak kalangan menilai kemenangan ini fenomenal. Tapi sebenarnya, tidak demikian. Kalau Jokowi-Ahok kalah, malah timbul pertanyaan, ada apa dengan warga Jakarta yang katanya, tingkat pendidikan maupun kemampuan mengakses informasinya lebih tinggi dibanding penduduk Indonesia secara rata-rata?

Mencari referensi mengenai Jokowi maupun Ahok tidak terlalu sulit. Jokowi merupakan salah seorang dari 25 walikota terbaik dunia. Majalah Tempo juga menjadikan Jokowi sebagai salah seorang kepala daerah terbaik di Indonesia.

Ahok sendiri termasuk berhasil ketika memimpin Kabupaten Belitung Timur meski tidak sampai menyelesaikan masa tugasnya. Demikian juga ketika menjadi anggota DPR RI ia sempat membuat gempar karena melaporkan penerimaannya saat menjadi anggota dewan tersebut.

Di samping itu, ada satu kelebihan yang dimiliki seorang Jokowi dan ini memang didambakan rakyat dewasa ini. Ia hidup sederhana, tidak elitis dan yang paling penting mau terjun ke masyarakat untuk melihat, mendengar dan kemudian menyelesaikan persoalan tersebut.

Di Solo hal itu sudah diterapkan dan berhasil. Meskipun demikian masih ada pihak yang pesimis dengan langkah tersebut. Dalihnya, DKI Jakarta berbeda dengan Solo. Benar! Jakarta beda dengan Solo. Tapi harus diingat Jakarta seperti Solo juga masih bagian dari Indonesia yang cara-cara kehidupannya tidak jauh beda.

Satu hal lain yang bisa diteladani dari Jokowi adalah sikap ‘masa bodoh’-nya. Dia tidak peduli dengan kata-kata sinis, pencitraan dan sebagainya. Dia tetap bekerja dan turun untuk melihat masalah yang sebenarnya begitu dilantik sebagai Gubernur DKI.

Duplikat

Kita--warga Sumatera Utara--butuh seorang pemimpin seperti Jokowi. Sosok seperti Jokowi diyakini mampu membawa Sumatera Utara kepada kejayaan. Sangat disayangkan jika Sumatera Utara yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang cukup mumpuni, kalah tertinggal dengan daerah lainnya.

Dulu kita boleh mengklaim sebagai provinsi yang paling maju di luar Pulau Jawa. Tapi kini kita harus mengakui bahwa provinsi tetangga seperti Riau dan Sumatera Selatan atau daerah lain di Kalimtan dan Sulawesi sudah berkembang dengan pesatnya.

Untuk mengembalikan kejayaan itu, sosok seperti Jokowi yang mau turun mendengar dan melihat secara langsung berbagai persoalan, sangat dibutuhkan.

Momen yang paling tepat untuk mencari ‘duplikat’ Jokowi adalah saat ini. Memang Sumatera Utara baru akan menggelar Pilkada Maret tahun depan. 

Tapi siapa-siapa yang bakal bertarung akan ditentukan pekan ini.

Seperti diketahui sejak Sabtu (10/11) hingga Jumat (16/11) mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut membuka pendaftaran untuk pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur dari jalur partai politik. 

Sementara dari jalur perseorangan (independen) sudah ditutup dan tidak satu pasanganpun yang lolos verifikasi.

Artinya siapa yang bakal memimpin Sumatera Utara lima tahun ke depan berada di tangan partai politik. Kalau partai politik menghendaki sosok seperti Jokowi atau sosok lain yang kredibel, maka mereka harus mencalonkan sosok seperti itu. 

Memang masyarakat yang memilih. Tapi pilihan mereka terbatas pada calon yang ditentukan oleh partai politik. Jadi opsi masyarakat hanya dua, memilih calon pilihan partai politik, atau tidak memilih sama sekali kalau dirasa tidak ada yang cocok!

Karena itu kepada partai politik diharap untuk lebih berpikir lebih jernih dan jauh ke depan. Pilihlah calon yang memang punya keinginan membangun provinsi ini. Kalau dilihat dari intelektualitas, mungkin semuanya memenuhi syarat. Tapi itu saja tidak cukup.

Saat ini sebagian calon ada yang sudah ‘merasa’ seperti Jokowi. Tapi itu hanya ‘perasaan’ saja karena sudah turun ke lapangan atau memakai kemeja ‘kotak-kotak’. Lihatlah rekam jejaknya selama ini. Fakta ini sulit dibohongi!



Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar