Presiden Myanmar Izikan Bantuan untuk Pengungsi Muslim Rohingnya

Kamis, 25 Oktober 2012


PRESIDEN Myanmar Thein Sein mengatakan bahwa dia tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima bantuan asing untuk warga Muslim yang menjadi korban konflik sektarian. Thein Sein mengaku, negaranya memang membutuhkan bantuan itu.
"Kami membutuhkan bantuan kemanusiaan. Bila kami menolak bantuan itu, komunitas internasional takkan menerima kami. Kami harus memberi makan warga dan kami membutuhkan dana 10.000 dolar AS (sekira Rp96 juta) per hari," ujar Sein, seperti dikutip AFP, Senin (22/10).

"Pemerintah kami tidak sanggup membiayai ini. Kami tidak bisa memberi makan seluruh orang di kamp, dengan bantuan warga, jadi kami harus menerima bantuan kemanusiaan dari komunitas internasional. Bila kami menolaknya, mereka akan mengatakan bahwa kami bukanlah manusia," imbuhnya.

Lebih dari 50.000 warga Muslim, yang merupakan mayoritas warga etnis Rohingya, menjadi korban konflik antar golongan di Arakan (Rakhine) dan hidup di kamp pengungsi. Thein Sein sebelumnya memblokir rencana Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang hendak membangun kantor penyaluran bantuan di Myanmar. Pemblokiran itu dicetuskan sebagai respons dari tuntutan pemuka agama Budha Myanmar yang mengecam OKI. Tapi Thein Sein menegaskan, pemerintahannya akan terus menerima bantuan kemanusiaan dari sejumlah negara Islam di dunia ini.

Delegasi dari seluruh negara anggota OKI sudah mengunjungi negara bagian Arakan, Myanmar, pada September lalu. Kunjungan itu dilakukan usai munculnya laporan penembakan warga Rohingya.

Terperangkap

Dilaporkan pula, warga Muslim di Myanmar hidup terperangkap dalam ketakutan di wilayah Sittwe, Myanmar. Mereka saat ini terus hidup terdiskriminasi, meskipun tinggal dalam pengungsian.

Pasukan keamanan terus melakukan penjagaan di wilayah kumuh daerah Sittwe, Rakhine. Pasukan keamanan berada di sana bukan untuk mencegah warga etnis Rohingya untuk keluar dari lokasi pengungsian, mereka justru melindungi warga etnis Rohingya dari kemarahan etnis Rakhine, setelah terjadi konflik pada Juni lalu.

Di balik pagar wilayah pengungsian Aung Mingalar, ratusan keluarga etnis minoritas Rohingya mengaku masih hidup dalam ketakutan. "Rakhine akan menyerang kami hari ini," ungkap seorang warga Rohingya kepada AFP, usai shalat Jumat (12/10) pekan lalu.

Pada hari yang sama, kelompok Rakhine pun berkumpul di luar penampungan. Mereka mendesak relokasi dari pengungsian Aung Minglar. Teriakan dari warga Rakhine ini sangat jelas didengar oleh warga Rohingnya. Insiden tersebit memaksa pasukan keamanan berusaha membubarkan mereka dengan melepaskan tembakan peringatan, yang justru menimbulkan kepanikan di dalam lokasi penampungan. "Menurut saya, hidup di Gurun Sahara Afrika lebih enak dibandingkan harus hidup dalam situasi seperti ini," jelas warga Rohingnya, Mohamed Said, seperti dikutip AFP, Sabtu lalu.

"Kami tidak bisa menahan penderitaan lagi. Kami sudah kehilangan segalanya kecuali nyawa. Kami juga manusia," imbuhnya.

Sekira 3.000 hingga 8 ribu warga etnis Rohingya hidup di wilayah pengungsian Aung Minglar pada lahan yang luasnya hanya mencapai 500 meter persegi. Tidak ada lalu lintas di wilayah itu, sementara seluruh toko sudah tidak lagi melakukan usahanya.


Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar