Mencegah Kekerasan di Sekolah

Senin, 22 Oktober 2012


Oleh : David Siagian. Perilaku sarkistis dan sadis kini sedang merasuki generasi penerus bangsa kita. Generasi muda yang kelak diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik justru "doyan" dengan kekerasan dan perkelahian massal tanpa penyebab dan tujuan yang jelas. Apa yang salah dengan negeri ini? Mau dibawa kemana bangsa ini jika nantinya dipimpin orang-orang yang brutal?
Perkelahian massal antara sekolah, atau sering kita dengar dengan istilah tawuran, belakangan semakin marak dibicarakan di tanah air menyusul tewasnya dua siswa SLTA di dua sekolah di Jakarta. Ironisnya, sekolah-sekolah tersebut tercatat sebagai sekolah favorit dan unggulan di ibukota. Namun, tingginya intensitas tawuran di kalangan pelajar saat ini merupakan gambaran umum buruknya sistem pendidikan nasional serta kurangnya keterlibatan berbagai pihak dalam mengantisipasinya.

Sementara itu, masyarakat kian resah dan jenuh menyaksikan aksi-aksi brutal anak-anak yang seharusnya tugas utamanya adalah menuntut ilmu ini karena selain sering menimbulkan korban, aksi mereka kerap mengganggu aktifitas publik. Hal ini pula yang memicu para pemimpin dan tokoh-tokoh nasional mulai ramai membahas cara-cara atau solusi "manjur" untuk mengatasi serta menghentikan kekerasan antar pelajar yang telah menjalar hingga ke seluruh pelosok negeri, terutama di kota-kota besar. Lalu di mana akar masalahnya?

Sosiolog Imam Prasodjo, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di salah satu stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu, mengatakan sebuah fenomena menarik yang muncul di kalangan para remaja dan pelajar saat ini; rasa bangga jika bisa mendominasi orang lain, atau merasa bangga jika ditakuti orang lain. Rasa bangga karena ditakuti inilah memicu para siswa melakukan aksi-aksi kekerasan dan tawuran.

Menurut Imam, ada dua hal yang berbeda dalam meraih rasa bangga tersebut. Pertama, bangga karena ditakuti dan kedua bangga karena dihormati. Untuk meraih rasa bangga yang pertama, dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau dengan menunjukkan "keberanian" sehingga memicu tawuran massal. Mereka ingin ditakuti atau diakui "lawan" sebagai "jagoan" atau pemberani. Mereka bangga jika sang lawan tunduk kepada mereka. Sementara untuk meraih rasa bangga yang kedua, tentu saja diraih bukan dengan cara-cara kekerasan tetapi dengan menunjukkan prestasi dan penguasaan ilmu pengetahuan. Sayangnya, pelajar kita lebih cenderung memilih cara yang pertama, yakni jalan pintas tanpa kerja keras. Pertanyaannya, kenapa para remaja dan siswa lebih memilih jalan pintas? Tentu dalam hal ini ada yang salah dari akarnya.

Intoleransi

Pemikiran sempit dan dangkal-ditambah dengan terinspirasi dari kekerasan massal yang dilakukan orang-orang dewasa, terutama para pejabat-membuat para pelajar lebih memilih cara-cara kekerasan untuk memecahkan sebuah masalah atau mencari solusi untuk sebuah persoalan. Pemikiran sempit, dangkal dan intoleran ini bisa ditimbulkan oleh setidaknya tiga faktor.

Pertama, kurangnya pengajaran nilai-nilai moral, kemanusiaan, toleransi dan saling menghormati sesama manusia di sekolah-sekolah. Padahal, dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang saling menghargai, bangsa ini memiliki pandangan dan dasar yang kuat; yaitu Pancasila. Terlepas dari doktrinisasi hal-hal tertentu oleh penguasa pada masa itu, pengajaran nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Pancasila, yang telah disepakati para founding father sebagai way of life bangsa kita, sangat ampuh untuk mencegah degradasi moral bangsa.

Nilai-nilai moral di dalamnya dapat menumbuhkan sikap toleransi dan saling mengasihi sesama. Misalnya, ada satu nilai moral yang telah menjadi budaya bangsa kita sejak masa lalu, namun sudah terlupakan saat ini, yaitu budaya tepa selira atau budaya tenggang rasa. Budaya bangsa ini mengajarkan kita berbuat terhadap orang lain sebagaimana kita menginginkan orang lain berbuat terhadap kita. Artinya, jika kita ingin diperlakukan orang dengan baik, maka kita harus lebih dahulu memperlakukan orang itu dengan baik.

Yang terjadi saat ini, pengajaran nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Pancasila tersebut hampir terlupakan. Dunia pendidikan kita lebih menjejali siswa dengan segudang mata pelajaran yang hanya mengejar kecerdasan intelektual tetapi kurang memperhatikan pembinaan kecerdasan emosional apalagi kecerdasan berinteraksi. Hal ini terbukti dari mata pelajaran yang diajarkan sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga SLTA yang hampir tidak ada mengajarkan nilai-nilai moral Pancasila. Padahal, pembinaan mental penting untuk mencerdaskan perilaku para peserta didik,sehingga output pendidikan bukan hanya memiliki kemampuan secara ilmiah tapi juga memiliki akal sehat serta kemampuan untuk mempergunakan ilmunya untuk tujuan-tujuan yang baik dan berguna.

Dalam bukunya, Mengasah Kecerdasan Intelektual, Victor Tinambunan mengatakan, perlu ditumbuhkan pribadi-dalam ini siswa-yang memiliki kecerdasan interaksi bukan hanya memiliki kecerdasan intelektual. Dengan menumbuhkan kecerdasan interaksi, peserta didik akan mampu menjalin hubungan yang baik antar manusia maupun dengan lingkungannya. Kurangya pembinaan moral dan kecerdasan berinterkasi membuat siswa tidak lagi menghargai guru dan orangtua apalagi teman. Hal inilah yang memicu sikap pemberontak bahkan permusuhan.

Kedua, ada pergeseran/perubahan pendekatan sistem pendidikan dan sekolah terhadap perkembangan anak. Hal ini terlihat lebih jelas di sekolah-sekolah swasta. Misalnya, kebijakan sekolah atau pengelola pendidikan yang tidak boleh menghukum siswa, dalam arti memberi sanksi kepada siswa yang melakukan kesalahan. Sekolah lebih membela siswa-siswa yang nakal daripada memberi sanksi atas kenakalan mereka.

Keengganan sekolah memberi sanksi disiplin terhadap anak bisa disebabkan beberapa hal, di antaranya, siswa dianggap sebagai aset (bagi sekolah swasta). Jika aset hilang, maka pendapatan berkurang. Oleh karenanya, sekolah harus "melindungi" asetnya. Di lain pihak, orangtua siswa sangat mudah terpancing oleh pengaduan anak dan gampang pula mempidanakan guru jika menghukum anak dengan tuduhan tindak kekerasan kepada anak. Akhirnya guru pun enggan menerapkan disiplin dan cenderung "membiarkan" siswa melakukan sesuka hatinya. Akibatnya, siswa bertumbuh menjadi anak manja dan tidak mau diatur. Dan yang lebih parah, siswa tidak menghargai guru lagi apalagi teman. Bibit-bibit seperti ini bisa menumbuhsuburkan sikap intoleran dan kekerasan.

Ketiga, kurangnya kepedulian orangtua terhadap perkembangan anak, baik dari segi intelektual maupun dari segi emosional. Di zaman post modern ini, orangtua cenderung "mengontrakkan" anak-anak mereka kepada orang lain atau pihak ketiga. Orangtua hanya berfungsi sebagai penyandang dana. Hal ini terlihat semakin banyaknya orangtua mempercayakan perkembangan anak mereka di luar rumah, mulai dari pengasuhan hingga pendidikan. Akibatnya, anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Tingginya tingkat kesibukan orangtua zaman sekarang menjadi alasan klasik untuk menyerahkan hak asuh anak kepada orang lain. Padahal perhatian orangtua dan interaksi antar anggota keluarga menjadi faktor penting dalam membentuk karakter anak

Kekerasan di sekolah harus dicegah sejak dini. Semua pihak, mulai dari orangtua, sekolah dan pemerintah harus bersinergi menjaga "aset negara" ini tidak sampai jatuh ke dalam lingkaran setan kekerasan. Perlu ada pembenahan di dalam sistem pendidikan serta kebijakan-kebijakan sekolah yang bertujuan membentuk karakter anak bangsa yang baik.

Penegakan hukum bagi pelaku kekerasan antar pelajar memang penting, namun lebih penting lagi "radikalisasi" nilai-nilai budaya bangsa yang terkandung di dalam Pancasila kepada siswa. Kelak, jika budaya toleransi, tenggang rasa dan saling menghormati yang telah tertanam dalam diri anak-anak bangsa, niscaya kekerasan atau tawuran antar pelajar terjadi di masa depan. ***

Penulis adalah seorang jurnalis


Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar