Pemanasan Global Bekukan Perekonomian Dunia

Sabtu, 06 Oktober 2012


PERUBAHAN iklim disebabkan pemanasan global kini membekukan perekonomian dunia dan telah menyebabkan kematian jutaan orang setiap tahun. Hal ini diungkapkan dalam sebuah laporan yang diminta oleh 20 dari negara-negara paling rentan di seluruh dunia.
Laporan berjudul "Climate Vulnerability Monitor: a guide to the cold calculus of a hot planet" itu membeberkan pemanasan global tidak hanya akan menyebabkan bencana lingkungan tapi juga mencekik perekonomian internasional.

Temuan-temuan penting dalam laporan itu termasuk estimasi bahwa negara-negara yang memiliki tingkat karbon intensif dan perubahan iklim terkait jadi penyebab kematian lima juta orang setahun, 90 persen dari mereka terkait dengan polusi udara.

"Kegagalan bertindak untuk mengatasi perubahan iklim telah menyebabkan kerugian terhadap perekonomian dunia yang kehilangan 1,6 persen dari Produk Bruto Domestik (GDP) global. Itu berarti kerugian per tahun mencapai 1,2 triliun dolar," papar laporan tersebut yang disusun oleh pusat riset DARA dan disiarkan di Asia Society di New York.

Naik

Selain itu, "eskalasi cepat suhu udara dan polusi terkait karbon akan menyebabkan kerugian naik dua kali lipat jadi 3,2 persen dari GDP dunia pada 2030.

"Ada suatu peluang sangat besar dalam pembangunan di seluruh dunia saat kita menciptakan kembali segala sesuatu," paparnya. "Di sinilah letaknya masa depan."

Jika kurang dari itu, ujar pakar tadi, "maka kita bisa dibilang seperti menyusun kembali kursi-kursi di dek kapal Titanic."

Laporan tadi menyebut sementara negara-negara miskin menghadapi dampak ekonomi terburuk terkait kerugian GDP, negara-negara besar juga tidak luput dari imbasnya.

"Dalam waktu kurang dari 20 tahun, China akan menanggung bagian terbesar dari semua kerugian sekira 1,2 triliun dolar. Perekonomian AS akan tertahan karena kerugian GDP lebih dua persen; India terimbah lebih lima persen dari GDP-nya," ujar laporan tersebut.

Proyeksi kerugian-kerugian tersebut "jauh lebih besar dari biaya kecil" mengatasi perubahan iklim.

Pukul Keras

Ketua forum iklim, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, menjelaskan perubahan-perubahan pola cuaca akan memukul sangat keras negaranya yang berpenduduk padat.

"Kenaikan suhu udara sebesar satu derajat Celsius dikaitkan dengan 10 persen kerugian produktivitas pertanian," paparnya dalam acara peluncuran laporan tadi di New York. "Bagi kami, itu berarti kerugian sekira empat juta meter ton biji-bijian pangan, yang mencapai nilai sekira 2,5 miliar dolar. Itu sekira dua persen dari GDP kami.

"Selain kerugian pada properti dan kerugian lain, kami dihadapkan pada total kerugian sekira tiga hingga empat persen dari GDP."

Suatu kenaikan level laut setinggi satu meter, papar Hasina, akan menggenangi seperlima dari daerah rendah, menelantarkan hampir 30 juta orang. "Skenario itu tentu sama mengerikannya dengan bahaya yang mengancam negara-negara berkembang kepulauan kecil seperti Maladewa, Kiribati dan Tuvalu," tegas perdana menteri tersebut.

Presiden Maladewa Mohamed Waheed menyebut negaranya "ground zero untuk mengamati dampak iklim yang kini berubah," tapi ancaman dramatis terhadap masa depan kepulauan itu akhirnya akan terjadi pada negara-negara yang terkesan aman."

"Ini cuma masalah waktu saja sebelum setiap negara harus bertindak seperti kami."

Pengingat

Jeremy Hobbs, direktur eksekutif badan bantuan Oxfam International, menyebut laporan tersebut sebagai "pengingat lain bahwa dampak paling dahsyat dari perubahan iklim adalah kelaparan dan kemiskinan."

"Ongkos ekonomi dan sosial akibat tidak adanya tindakan politik terhadap perubahan iklim tak terkendali tentu sangat besar," ujar Hobbs. "Di balik data statistik itu adalah cerita-cerita tentang banyak keluarga dan komunitas sesungguhnya terpaksa menidurkan anak-anak mereka dalam keadaan lapar disebabkan dampak perubahan iklim."

Menlu Bangladesh Mohamed Mijraul Quayes mengemukakan pada forum di New York bahwa perubahan radikal dari perekonomian sarat karbon merupakan satu-satunya jalan untuk maju ke depan.

"Tidak ada rencana B, karena tidak ada planet B," tandasnya. 


Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar