Kesaktian Pancasila Pasca G-30-S/PKI

Senin, 01 Oktober 2012


Oleh : Drs. H. Done Ali Usman, M.AP. 1 Oktober merupakan hari Kesaktian Pancasila, walau-
pun tidak ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah sebagai peringatan atas terkuburnya Gerakan 30 September/PKI 1965 oleh gerakan spontan masyarakat Indonesia atas kekejaman Partai Komunis Indonesia yang membunuh putra-putra terbaik bangsa sebagai 7 Pahlawan Revolusi yang dikenal sebagai peristiwa Lubang Buaya.
Gerakan spontan masyarakat Indonesia menentang G-30S/PKI membuktikan betapa saktinya Pancasila sebagai falsafah bangsa yang berhasil merasuk sukma bangsa Indonesia untuk segera memberangusnya karena bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

Pemberontakan G-30 S/PKI yang bisa disebut sebagai puncak dari pengingkaran terhadap Pancasila, tetapi kini pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dipelopori Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah melalui periode Orde Lama, Orde Baru, memasuki Orde Reformasi yang telah berlangsung 14 tahun lebih "ruh" Pancasila sudah pudar di mata hati para penyelenggara negara republik ini.

Dengan dicabutnya Tap MPR No. IV tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) pada tahun 1999 yang sampai sekarang belum ada Ketetapan MPR penggantinya. Kini Pancasila hanya menjadi pajangan indah di tubuh lambang negara Garuda Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, diam tanpa makna bahkan mulai hilang di pelajaran SD, SMP, dan SMA.

Anak-anak muda sekarang lebih kenal pada Lady Gaga, atau Justin Bieber daripada Pancasila. Pertanda apa ini? Kemajuan? Dampak Reformasi? Pengaruh global? Keterbukaan? Atau Demokrasi Liberal?

Melihat berbagai peristiwa di negeri ini dari yang berbau SARA sampai kepada yang berbau politis, kerusuhan karena dampak ketidakpuasan Pilkada, korupsi yang semakin mewabah, terorisme, ketimpangan sosial dan lain sebagainya bak sebuah negeri yang penuh teka-teki.

Isu Aktual Masalah Bangsa

Maraknya praktik korupsi yang semakin luas mengundang keprihatinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kepala negara mengungkapkan tindak pidana korupsi kini telah menghambat laju pembangunan bangsa. Karena itu, Presiden meminta aparat hukum bekerja keras untuk memberantas praktik korupsi yang kini sudah sangat memprihatinkan.

Pada pidato kenegaraan dalam rangka hari ulang tahun (HUT) ke-67 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di hadapan sidang bersama DPR RI dan DPD RI, Presiden Bambang Yudhoyono menyoroti enam isu dalam Pidato Kenegaraan jelang 17 Agustus di Gedung DPR, Senayan adalah :

1. Pemberantasan Korupsi

Hukum harus ditegakkan, tidak boleh tebang pilih dan harus memberi efek jera serta menjamin keadilan dan kesetaraan di depan hukum.

2. Reformasi birokrasi dan good governance

Percepatan reformasi birokrasi tidak dapat ditawar-tawar agar tercipta jajaran aparatur negara yang andal, profesional, dan bersih.

3. Kekerasan dan benturan sosial

Aksi-aksi kekerasan dan konflik komunal bisa dicegah jika semua pihak peduli dan terus menjaga kerukunan.4. Iklim investasi dan kepastian hukum

Iklim investasi dan kepastian hukum yang masih mengalami hambatan berpotensi menciptakan ekonomi biaya tinggi.

5. Pembangunan infrastruktur

135 proyek pembangunan terkait kerangka MP3EI telah dilakukan ground breaking.

6. Kebijakan fiskal menghadapi krisis ekonomi global

Kesehatan fiskal perlu dijaga di tengah-ditengah ketidakpastian lingkungan ekonomi global.

Dari enam isu aktual yang disinggung SBY lebih banyak menyampaikan keprihatinannya atas makin maraknya praktik korupsi yang melibatkan atau terjadi karena adanya kongkalikong antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Pancasila Sebagai Problem Solver

Dari masalah kritis bangsa seperti tersebut diatas, Pancasila dapat dijadikan solusi, mengacu pada penjabaran, Pancasila dalam UUD 1945 merupakan upaya untuk mengantisipasi persoalan yang muncul dan terjadi di negeri ini, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud MD.

"Misalnya, kemungkinan mengenai menguatnya fundamentalisme agama. Sila pertama Pancasila menekankan prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban", katanya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Minggu.

Jika mendasarkan pada UUD 1945, Indonesia adalah negara kebangsaan yang religius. Dalam konteks itu dikenal istilah Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler.

Ia mengatakan, untuk menghadapi dampak destruktif dari globalisasi dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip sosio-nasionalisme yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah menyediakan jawabannya.

Dalam mengantisipasi tirani dan ketidak adilan politik dan ekonomi, prinsip sosio-demokrasi yang tertuang dalam sila keempat dan kelima Pancasila dapat dijadikan patokan merumuskan solusi yang andal.

Menurut prinsip itu demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada ranah politik, demokrasi yang berkembang adalah demokrasi permusyawaratan dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak secara inklusif. Dibidang ekonomi, masalah riil yang dihadapi adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, kini nilai-nilai Pancasila perlu mengalami rekonstruksi atau transformasi sosial. Pancasila tidak boleh lagi sekedar ideologi politik negara, tetapi disesuaikan dan dikembangkan menjadi paradigma peradaban global. Pancasila harus diberi makna sebagai "problem solver" dari berbagai persoalan bangsa. Atau dengan kata lain, jangan lagi membahas Pancasila dalam tataran definisi ideologis semata, tetapi mengaplikasikan Pancasila untuk menjawab tantangan yang dihadapi bangsa dan negara. Pancasila sesuai dengan kemajuan zaman, harus mentransformasi diri dari ideologi politik nasional kepada paradigma peradaban global. Definisi tersebut sangat relevan mengingat sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai universal. Jangan lagi melihat Pancasila sebagai apa yang ditafsirkan oleh pemerintah dan birokrasi, tetapi berdasarkan apa yang ditafsirkan para pendiri negara. ***

Penulis adalah Dosen UMA / UISU, Medan.

Sumber : Analisa

0 komentar:

Posting Komentar